Suara.com - Pemerhati batik Lintu Tulistyantoro M.Ds. menilai batik sudah waktunya naik kelas dari sekadar produk fashion (mode) menjadi bagian dari budaya (kehidupan).
"Sejak ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya takbenda untuk dunia pada 2 Oktober 2009, batik masih sekadar menjadi 'fashion'," kata pecinta dan peneliti batik itu kepada Antara di Surabaya, Sabtu (20/9/2014).
Dosen interior Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya itu menambahkan batik sebagai mode, jatuhnya tidak akanĀ jauh berbeda dengan tekstil atau industri tekstil lainnya seperti pakaian. Padahal menurut pendiri Komunitas Batik Surabaya (KiBaS) itu, di masa lalu batik menjadi bagian dari budaya.
"Sehingga batik untuk acara X, Y, Z itu berbeda, bahkan batik untuk kalangan X, Y, Z juga berbeda," ujarnya.
Namun, katanya, menjadikan batik sebagai budaya itu tidak harus seratus persen menerapkan tradisi masa lalu. "Setidaknya, kita bisa membedakan batik dengan pakaian lainnya," katanya.
Ia mencontohkan masyarakat harus menaikkan 'kelas' batik dengan membedakan batik bukan atas dasar status atau bentuk kegiatan seperti masa lalu, melainkan atas dasar manfaat/fungsi.
"Misalnya, batik untuk anak-anak dan orang dewasa itu harus berbeda. Atau, batik untuk dinas X dengan dinas Y, atau batik untuk bagian humas dengan bagian akademik," katanya.
Menurut dia, dengan menaikkan "kelas" batik dari sekadar pakaian atau fashion atau tekstil menjadi bagian dari fungsi tertentu, maka batik sudah menjadi bagian dari budaya atau kehidupan.
"Dengan begitu, batik memiliki ruh atau filosofi seperti pada masa lalu, sehingga masyarakat dunia akan melihat batik sebagai pakaian dengan nilai lebih, bukan asal dipakai saja," katanya.
Selain itu, batik yang tidak seragam dalam berbagai lapisan dan kebutuhan itu akan mendorong tumbuhnya motif dan sekaligus menandakan bangsa Indonesia betul-betul Bhinneka Tunggal Ika.