Suara.com - Bagi sementara perempuan, memiliki kekasih ataupun suami orang asing khususnya bule menjadi hal yang didambakan dan dibanggakan. Beragam alasan melatar-belakangi sikap ini, mulai dari memperbaiki keturunan, kebebasan, materi, cinta hingga seks.
Tapi tak jarang memiliki kekasih atau bersuamikan bule justru membuahkan berbagai masalah. Mulai dari penyakit menular, perdagangan manusia, hingga menjadi korban penipuan. Kisah-kisah itulah yang diangkat dalam buku "Bule Hunter: Money, Sex and Love (Perempuan Pemburu Bule)" yang diluncurkan Rabu (10/9/2014) di Jakarta.
Buku yang ditulis oleh Elisabeth Oktofani ini adalah sebuah catatan yang diadopsi dari kisah nyata. Berisi suara para perempuan yang menjalin hubungan dengan laki-laki dari ras kaukasoid, baik sebagai kekasih, suami, klien dalam bisnis prostitusi atau hanya sekedar teman kencan.
Namun demikain ada juga yang murni karena cinta, meski untuk itu mereka harus rela dicap sebagai 'Bule Hunter' yang cenderung berkonotasi negatif.
Pada peluncuran bukunya, Fani yang juga berprofesi sebagai wartawan ini mengaku, dirinya menulis buku tersebut dikarenakan menyimpan kegelisahan atas stereotip terhadap para perempuan Indonesia yang menjalani hubungan dengan laki-laki bule, yang selalu dicap sebagai bule hunter.
"Saya sebagai pelaku casual relationship tersebut sangat gelisah tentang adanya pandangan itu. Bule hunter berkonotasi negatif," ujarnya kepada suara.com.
Buku ini, lanjutnya, bertujuan untuk memperlihatkan fenomena-fenomena yang sebenarnya terjadi dan jarang dilihat oleh banyak orang. Bahwa, memiliki hubungan dengan laki-laki bule tak selalu manis dan membahagiakan. Banyak orang menghakimi bahwa perempuan yang memiliki hubungan dengan bule hanya mementingkan uang dan seks saja.
"Bagi sebagian orang, judul buku ini mungkin terdengar merendahkan perempuan Indonesia yang memiliki hubungan dengan laki-laki barat. Tapi pesan saya, bacalah dulu, baru berkomentar," kata perempuan berambut bondol ini.
Untuk menulis buku ini, Fani melakukan riset hingga dua tahun dengan menemui belasan narasumber yang mau membagi kisahnya.
Aktivis perempuan Myra Diarsih yang hadir dalam kesempatan itu memandang, buku ini bisa menjadi sebuah media untuk mendobrak cara pandang kaum perempuan untuk lebih kritis menghadapi apa yang terjadi di sekitar mereka.