Mengenal Tradisi "Pukul Sapu" di Maluku

Esti Utami Suara.Com
Selasa, 05 Agustus 2014 | 08:30 WIB
Mengenal Tradisi "Pukul Sapu" di Maluku
Atraksi "Pukul Sapu" di Leihitu, Pulau Ambon, Senin (4/8/2014) petang. (Antara/Izaac Mulyawan)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Lahan kosong seluas 2600 meter persegi di  Desa Morella, Ambon Maluku itu telah diselap menjadi stadion mini. Namun tetap tak mampu menampung antusiasme warga untuk menyaksikan atraksi adat "Pukul Sapu" yang digelar Senin (4/8/2014) petang itu. Sehingga banyak warga yang ikut 'terjun' ke tengah arena.

Tradisi "Pukul Sapu" di Negeri Mamala dan Morela Kecamatan Leihitu Pulau Ambon, Kabupaten Maluku Tengah, itu telah berlangsung ratusan tahun.

Antara Ambon melaporkan, sejak pagi puluhan ribu warga dari Kota dan Pulau Ambon, Masohi ibu kota Kabupaten Maluku Tengah, serta Pulau Haruku, Saparua dan Piru serta Kairatu, Kabupaten Seram Bagian barat (SBB), membanjiri dua desa bertetangga untuk menyaksikan ritual tahunan yang digelar setiap 7 Syawal atau sepekan hari raya Idul Fitri.

Puluhan wisatawan mancanegara yang kebetulan sedang berkunjung ke Maluku, tak ketinggalan mendatangi kedua desa yang terletak sekitar 55 kilometer sebelah utara Pulau Ambon. Mereka berbaur bersama ribuan warga.

Tradisi "Pukul sapu" di kedua desa yang memiliki satu leluhur ini telah berlangsung sejak abad ke-16.  Atraksi "baku pukul manyapu" dilakoni dua kelompok pemuda berbadan tanggung dan bertelanjang dada. Masing-masing kelompok dibatasi 10-15 orang dan hanya dibedakan warna celana merah dan kuning serta penutup atau ikat kepala.

Sebelum atraksi, para peserta dikumpulkan di rumah adat masing-masing untuk mengikuti upacara adat. Mereka berdoa minta pertolongan dan restu sang pencipta serta para leluhur.

Setelah siap, kedua regu kemudian saling berhadap-hadapan dengan memegang dua ikat lidi, menunggu bunyi peluit ditiup pimpinan adat. Saat seruling berbunyi kelompok bercelana merah lebih dulu memukul kelompok bercelana kuning.  Begitu pun sebaliknya saat seruling dibunyikan, giliran kelompok bercelana kuning yang menyerang dan memukul kelompok bercelana merah dengan batang lidi yang panjangnya 1,5 hingga dua meter dan diameter pangkalnya mencapai 1-3 centimeter.

Masing-masing pemuda dengan menggunakan dua hingga tiga ikat batang lidi, memukul berkali-kali badan lawannya dengan sekuat tenaga. Area pukulan dibatasi dari pinggang, perut, dada dan punggung saja.

Tanpa rasa sakit.
Sabetan seikat lidi yang mengenai badan lawan mengeluarkan bunyi cukup keras menyerupai lecutan cambuk. Dalam sekejap tiga ikat batang lidi yang digunakan sudah hancur hanya pada tiga atau empat kali sabetan.  Pukulan lidi berkali-kali menyebabkan guratan merah di sekujur tubuh para pemain,. Bahkan sering mengeluarkan darah segar. Terkadang potongan batang lidi turut tertancap pada kulit dan luka di tubuh mereka.

Namun jarang terdengar jeritan atau erangan kesakitan para pemain akibat sabetan lidi. Wajah mereka selalu memperlihatkan ekspresi gembira. Bahkan mereka ketagihan untuk dipukul berulang kali.

Tidak jarang warga yang berada terlalu dekat di arena juga terkena cambukan batang lidi para pemain sehingga harus meringis kesakitan. Para penonton terlihat ngeri dan tak jarang berteriak histeris menyaksikan aksi "baku pukul" itu.

Seusai mengikuti tradisi adat tersebut, pserta mengaku tidak merasakan sakit. Meskipun sekujur tubuhnya yang memar, terluka dan mengeluarkan darah segar akibat sabetan lidi tersebut. "Sabetannya hanya menimbulkan rasa gatal-gatal sehingga membuat kami ketagihan untuk terus dipukul dengan batang lidi," ujar beberapa pemain.

Tradisi tergolong ekstrem dan digelar masyarakat Negeri Mamala dan Morela setiap 7 Syawal pascalebaran tersebut memiliki hikayat atau sejarah yang berbeda.

Di Desa Morela, tradisi adat ini digelar untuk mengenang perjuangan Achmad Leakawa, atau lebih populer dengan nama Kapitan/Pimpinan Perang Telukabessy beserta anak buahnya ketika menghadapi tentara Belanda dalam Perang Kapahala (1643-1646 M).

Sedangkan di Negeri Mamala, tradisi ini dilakukan secara turun-temurun untuk mengenang keberhasilan warga desa setempat membangun masjid tanpa menggunakan "Ping" atau paku pada abad 17. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI