Suara.com - Li Xan adalah mahasiswa Cina yang sedang belajar ilmu teknik di Universidad Del Desarrollo di Cili. Li sudah tiga tahun ini tinggal Cili bersama ayahnya. Namun, ia masih mengingat bagaimana keluarganya di Cina merayakan Ramadan. "Selama Ramadan ayah akan bangun pada pukul 4 pagi, dan satu jam kemudian tepat adzan subuh, dia akan tiba di Masjid Niujie di pusat kota Beijing," ujarnya.
Bagi umat Islam di Cina, Ramadan secara tradisional dirasakan sebagai masa untuk menjalin solidaritas dan persaudaraan yang kuat. "Setiap hari di bulan Ramadan, kami menjalankan semua salat lima waktu di masjid. Teman-teman ayah memahami kewajiban kami, dan ketika ia sibuk dengan banyak pekerjaan, mereka akan membantu ayah agar ia bisa menjalankan ibadah salat tepat waktu," jelas Li.
Li adalah satu dari lebih 20 juta Muslim di Cina yang tetap memegang teguh kewajiban salat lima kali sehari, dan menjalankan puasa saat Ramdan tiba. Menurut asosiasi Islam Cina, muslim Cina tak kesulitan menjalankan ibadahnya karena ada lebih dari 34.000 masjid di seluruh negeri. "Karena dasar dari Republik Rakyat Cina pada tahun 1949, hak-hak dan kebebasan beragama dari kaum Muslim telah dilindungi oleh konstitusi dan hukum," ia menyatakan.
Masjid Niujie, yang dibangun pada tahun 996, dan Dongsi, berusia 500 tahun, adalah dua masjid terkenal di ibukota Cina, Beijing.
Masjid Niujie adalah pusat penting bagi studi Islam dan mengadakan pendidikan membaca Al Qur'an. Selama 50 tahun terakhir, pemerintah telah menganggarkan dana khusus untuk perbaikan bangunan bersejarah ini.
Beijing juga memiliki lebih dari 900 restoran Muslim dan toko yang menjual makanan halal. "Berkat stabilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi yang cepat, Muslim Cina menikmati Ramadan yang damai. Banyak Muslim berbagi makanan tradisional dengan tetangga mereka, dan mendistribusikan sedekah bagi yang kurang beruntung," kata Hang Xian, pedagang Muslim Cina berusia 61 tahun.
Namun di bulan Ramadan tahun ini di provinsi Xinjiang, di mana banyak muslim Cina bermukim, ada pembatasan. Mahasiswa dan PNS di provinsi Xinjiang barat laut telah diperintahkan untuk tidak menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadan ini.
Sejumlah laporan yang diunggah dalam seminggu terakhir di website sekolah, instansi pemerintah dan organisasi partai lokal di wilayah Xinjiang mengatakan larangan itu akan melindungi siswa dan mencegah penggunaan sekolah dan kantor pemerintah untuk mempromosikan agama, demikian Al Jazeera mengutip kantor berita AP.
Laporan di situs-situs organisasi partai setempat mengatakan anggota partai resmi atheis berkuasa juga harus menghindari puasa, meskipun bulan Ramadhan, yang dimulai saat matahari terbenam pada tanggal 28 Juni, diamati oleh umat Islam.
Larangan serupa juga diberlakukan beberapa waktu lalu, tapi tahun ini terasa lebih sensitif karena Xinjiang berada di bawah pengamanan ketat menyusul sejumlah serangan yang oleh pemerintah menyalahkan pemberontak Muslim.
Pada hari Selasa, pihak berwenang di beberapa komunitas di Xinjiang mengadakan perayaan ulang tahun berdirinya Partai Komunis dan menyajikan makanan untuk menguji apakah tamu Muslim sedang berpuasa. Dilxat Raxit, juru bicara untuk kelompok hak asasi muslim Uighur yang berkedudukan di Jerman mengecam tindakan ini. "Akan muncul lebih banyak konflik jika China menggunakan langkah-langkah koersif untuk menentang keyakinan muslim Uighur," katanya. (biharajunman.org/Al jazeera.com)