Suara.com - Jika anda bertemu dengan Zoe Derbyshire, anda pasti akan mengubah persepsi tentang badut yang selama ini ada di persepsi Anda.
Zoe Derbyshire, 50 tahun, adalah seorang dosen di Akademi Drama dan Musik Royal Scottish dengan spesialisasi tentang Badut. Zoe juga bagian dari kelompok Elderflower yaitu pengajar praktisi khusus yang menggunakan badut sebagai cara untuk meningkatkan kualitas hidup pasien pengidap demensia.
“Kami bukan membuat pesta badut,” katanya. “Ini tak semudah membuat hidung menjadi merah dan menjatuh-jatuhkan diri. Kami adalah badut dengan karakter. Biasanya badut ditampilkan untuk anak-anak yang sedang sakit dan menghibur mereka. Namun konsep kami sangat berbeda,” katanya.
Apa yang dilakukan Derby bermula dari pertemuannya dengan Magdalena Schamberger pada saat pertunjukan amal yang dilakukan oleh Hearts & Minds tahun 2004. Derby mengatakan pertemuan itu adalah hal yang sangat menentukan.
“Saat itu Elderflowers mulai mapan. Saya merasa sudah sangat sempurna. Saya tak lagi sering tampil memimpin acara. Saya sangat tertarik untuk menggunakan kemampuan saya untuk pengobatan, di mana saya bisa mengambil bagian menggunakan kemampuan seni saya untuk orang-orang yang secara normal tak memiliki akses langsung,” katanya bercerita.
Sejak pertemuan itu Derby mulai mengabdikan dirinya untuk mendekati para pasien penderita demensia. Hidung merah pada badut menjadi ciri utamanya.
“Memang banyak yang menolak hidung merah. Tapi tanpa itu, mereka tak benar-benar mengerti siapa kami. Pada beberapa penderita demensia, beberapa warna dapat menguatkan. Tapi warna merah cenderung untuk memberi pembedaan, dan hidung itu membuat kami tetap pada kontak mata yang stabil. Hidung merah juga menjadi simbol umum untuk bermain,” katanya menjelaskan.
Lalu apa yang dilakukan Derby saat ia mengunjungi pasien di rumah atau rumah sakit?
“Elderflowers selalu bekerja dalam beberapa bagian. Kami menggunakan karakter keluarga pasien, adik atau kakak mereka. Pasien yang kami kunjungi sepertinya mengerti konsep tersebut, dan itu membantu mereka merasa nyaman dan aman,” kata Derby menjelaskan.
Setiap akan memulai sesi, Elderflowers mengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang pasien.
“Beberapa orang tak suka mendapat sentuhan, dan beberapa berbeda lagi, kami harus berhati-hati agar tak memberi simulasi yang berlebihan. Kami melakukan yang mungkin kami lakukan, karena setiap orang sangat unik,” ucapnya.
Berdasarkan informasi yang didapatkan, Derby dan Elderflowers membuat dan mengatur rencana. “Kami mengatur agar dapat terhubung langsung dengan mereka. Biasanya kami menggunakan dua personel Elderflowers untuk satu skenario. Dari situ kami akan melihat respon mereka, siapa yang langsung tertarik, dan siapa yang membutuhkan pendekatan yang lebih intens.”
Menurut Derby, setiap kunjungan, mereka bisa mengangkat berbagai topik. Dari Shakespeare hingga puisi, dari berkebun hingga memasak. Itu semua ditampilkan dan menjadi pembukaan untuk melihat respon. Derby mengatakan mereka tetap tampil dengan tawa, tingkah yang terencana, musik, dan obyek bermain.
“Namun yang krusial, kami bukan sekedar menghibur mereka, namun kami menjalin keterlibatan dan kedekatan dengan pasien,” ujarnya.
Lalu bagaimana reaksi pasien dengan apa yang dilakukan oleh Elderflowers? Derby mengakui mendapat respon yang berbeda-beda. Bahkan pernah ada pasien yang menolak mereka.
“Kami tetap mematuhi dan menghargai permintaan itu. Namun kebanyakan, tawa dan permainan yang kami hadirkan membawa perubahan kecil bagi mereka. Kami juga menyediakan waktu khusus untuk pasien yang ingin berbagi sesuatu yang menyakitkan, dan ingin menangis.Karena berbagi dan tangisan bisa menjadi sesuatu yang positif,” ujarnya.
Derby ingat, ia pernah bertemu dengan seorang perempuan yang bercerita bahwa ia kehilangan bayinya bertahun-tahun yang lalu.
“Kami mendengarkan, menghargai apa yang mereka alami dan mereka rasakan, dan perlahan-lahan mengajak pasien untuk mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih baik,” ujarnya melanjutkan cerita.
Menurut Derby, pasien yang menderita demensia seringkali berada dalam situasi dimana apa pun yang mereka lakukan adalah untuk ‘mendapatkan sesuatu.’ Jadi Derby mencoba membuat sebuah skenario dimana mereka bisa ‘memberikan sesuatu.’
“Mereka diberikan kesempatan untuk melakukan kontrol dan memberikan nilai, dan disinilah keterhubungan itu. Banyak pekerja kesehatan bisa bekerja dengan hangat selama proses ini, tapi kebanyakan kembali lagi karena mereka mendapatkan bukti saat melakukan pendekatan personal untuk mendapatkan keterikatan dan stimulasi, sesuatu yang bisa membuat mereka frustasi saat tak tahu apa yang harus dilakukan,” katanya menjelaskan.
Profesor June Andrew dari Dementia Services Development Centre di Universitas Stirling mengapresiasi apa yang dilakukan oleh Elderflowers.
“Banyak hal yang penting dilakukan untuk pasien demensia adalah memberikan perasaan, bahwa itu sudah diselesaikan.” Menurut June Andrews, Elderflowers melakukan sesuatu yang sangat berbeda.
“Ketika pendekatan itu dilakukan dengan cara yang penuh hiburan, ternyata memberi dampak yang berbeda. Apa yang dilakukan para artis ini adalah melakukan komunikasi untuk membuat kedekatan dengan pasien, dimana orang lain justru memilih berhenti mencoba. Pasien yang tak mau bicara, biasanya memberi respon pada Elderflowers,” imbuhnya.
Lalu apakah Derbyshire pernah gagal? Derby lalu bercerita, “Saya ingat ketika kami mengunjungi satu unit dengan delapan pasien laki-laki yang sangat penuh tantangan. Para suster khawatir kami tak akan mengubah apapun. Tapi melakukan pendekatan terbuka dan tanpa tujuan apapun. Dan para laki-laki ini bisa merasakan itu. Kami tak melakukan sikap memberikan perhatian personal, dan kami bukan keluarga mereka. Kami adalah teman baru yang membutuhkan pertolongan mereka untuk melakukan sesuatu,” ujarnya.
Hearts & Minds baru saja menerima penghargaan dari Paul Hamlyn Foundation, dan berhak menerima 250 ribu poundsterling untuk apa yang telah mereka lakukan. Tanyalah, mengapa orang-orang seperti Derbyshire dibutuhkan?
Menurut Hearts & Minds, angka penderita Alzheimer dalam 40 tahun terakhir meningkat cepat. Kami tak bisa dan tak ingin mengubah itu semua, kami hanya ingin membangun komunikasi dan bersikap baik pada orang-orang penderita demensia dengan meyakinkan mereka bahwa mereka masih diberi kesempatan untuk melanjutkan hidup, untuk berkontribusi dan mengambil peran dalam kehidupan.”
Zoe Derbyshire mengakui ia kerap mendapat pertanyaan dari teman-temannya tentang apa yang ia lakukan. “Biasanya saya memilih menjelaskan agar mereka paham apa yang kami lakukan. Bagaimana kami bekerja, jadi mereka juga bisa meningkatkan hubungan dan kedekatan dengan orang terdekatnya. Memilih cara bersenang-senang sebagai salah satu cara berkomunikasi dengan orang tercintanya,” ujar Derby.
Ia menambahkan, “Ketika ayah saya didiagnosa menderita demensia, saya merasa lebih baik bisa mendapatkan cara untuk sesering mungkin bersama dia, dengan apa yang saya lakukan. Kami membutuhkan lebih banyak lagi untuk saling memahami." (theguardian)