Dosen Ini Rela Jadi Badut Demi Pengidap Demensia

Suwarjono Suara.Com
Senin, 30 Juni 2014 | 21:00 WIB
Dosen Ini Rela Jadi Badut Demi Pengidap Demensia
Ia bukan badut pesta, tapi berbagi untuk sesama. (theguardian)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

“Beberapa orang tak suka mendapat sentuhan, dan beberapa berbeda lagi, kami harus berhati-hati agar tak memberi simulasi yang berlebihan. Kami melakukan yang mungkin kami lakukan, karena setiap orang sangat unik,” ucapnya.

Berdasarkan informasi yang didapatkan, Derby dan Elderflowers membuat dan mengatur rencana. “Kami mengatur agar dapat terhubung langsung dengan mereka. Biasanya kami menggunakan dua personel Elderflowers untuk satu skenario. Dari situ kami akan melihat respon mereka, siapa yang langsung tertarik, dan siapa yang membutuhkan pendekatan yang lebih intens.”

Menurut Derby,  setiap kunjungan, mereka bisa mengangkat berbagai topik. Dari Shakespeare hingga puisi, dari berkebun hingga memasak. Itu semua ditampilkan dan menjadi pembukaan untuk melihat respon. Derby mengatakan mereka tetap tampil dengan tawa, tingkah yang terencana, musik, dan obyek bermain.

“Namun yang krusial, kami bukan sekedar menghibur mereka, namun kami menjalin keterlibatan dan kedekatan dengan pasien,” ujarnya.

Lalu bagaimana reaksi pasien dengan apa yang dilakukan oleh Elderflowers? Derby mengakui mendapat respon yang berbeda-beda. Bahkan pernah ada pasien yang menolak mereka.

“Kami tetap mematuhi dan menghargai permintaan itu. Namun kebanyakan,  tawa dan permainan yang kami hadirkan membawa perubahan kecil bagi mereka. Kami juga menyediakan waktu khusus untuk pasien yang ingin berbagi sesuatu yang menyakitkan, dan ingin menangis.Karena berbagi dan tangisan bisa menjadi sesuatu yang positif,” ujarnya.

Derby ingat, ia pernah bertemu dengan seorang perempuan yang bercerita bahwa ia kehilangan bayinya bertahun-tahun yang lalu.

“Kami mendengarkan, menghargai apa yang mereka alami dan mereka rasakan, dan perlahan-lahan mengajak pasien untuk mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih baik,” ujarnya melanjutkan cerita.

Menurut Derby, pasien yang menderita demensia seringkali berada dalam situasi dimana apa pun yang mereka lakukan adalah untuk ‘mendapatkan sesuatu.’ Jadi Derby mencoba membuat sebuah skenario dimana mereka bisa ‘memberikan sesuatu.’

“Mereka diberikan kesempatan untuk melakukan kontrol dan memberikan nilai, dan disinilah keterhubungan itu. Banyak pekerja kesehatan bisa bekerja dengan hangat selama proses ini, tapi kebanyakan kembali lagi karena mereka mendapatkan bukti saat melakukan pendekatan personal untuk mendapatkan keterikatan dan stimulasi, sesuatu yang bisa membuat mereka frustasi saat tak tahu apa yang harus dilakukan,” katanya menjelaskan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI