Suara.com - Kelompok Kerja untuk Advokasi melawan Penyiksaan atau Working Group on the Advocacy against Torture (WGAT) menolak praktik-praktik pemberlakuan sunat dengan cara menindik, menyayat, atau memotong sebagian dari genital perempuan yang masuk dalam kategori Female Genital Mutilation (FGM). Praktik tersebnut telah melanggar konvensi Anti penyiksaan.
Working Group on the Advocacy against Torture (WGAT) melihat bahwa sampai dengan saat ini sunat perempuan masih dipertahankan di banyak tempat di Indonesia. Sebuah riset yang dilakukan Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan 68 persen sunat perempuan di Sulawesi Selatan dan Banten misalnya, masih menggunakan jasa dukun.
Riset itulah yang menjadi dasar Menteri Kesehatan pada tahun 2006 mengeluarkan larangan sunat perempuan yang dituangkan dalam Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan, Nomor HK 00.07.1.31047a, tertanggal 20 April 2006 tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan.
Dari surat elekronik yang diterima suara.com, Senin (23/6/2014), di beberapa wilayah di Indonesia seperti Sumatra, Jawa, Madura, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi, praktik sunat perempuan masih menjadi tradisi yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat atas legalisasi agama.
Sejumlah pihak termasuk Kementrian Kesehatan mengatakan bahwa praktik sunat perempuan di masyarakat Indonesia hanya dilakukan secara simbolik karena merupakan ritual budaya untuk bayi dan anak perempuan, agar mereka dinyatakan suci sebagai perempuan.
Namun, praktik seperti menindik, menusuk, bahkan memotong sebagian dari organ genital bayi perempuan juga masih dilakukan dan dalam perkembangannya bahkan dilakukan oleh petugas kesehatan di Rumah Sakit dan klinik-klinik persalinan. Alasannya, praktik sunat akan jauh lebih ideal karena dilakukan secara medis sehingga prosesnya hygienis.
Anggota WGAT Mike Verawati dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menyatakan bahwa pemberlakuan sunat dengan cara menindik, menyayat, atau memotong sebagian atau sekalian ini masuk dalam kategori Female Genital Mutilation (FGM) yang tidak hanya berdampak rasa sakit yang hebat pada saat proses sunat terjadi, tetapi berdampak panjang pada perempuan ketika mereka berusia dewasa kemudian.
“Beberapa testimoni dari perempuan yang mengalami FGM merasakan dampak akibat berkepanjangan seperti kehilangan kepekaan yang berakibat kesakitan dalam aktivitas seksual. Pendapat yang dikeluarkan oleh beberapa dokter ginekolog juga menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada relevansi yang kuat antara sunat perempuan atau FGM dalam kaitannya kebersihan seorang perempuan,” katanya.
Mike juga menegaskan bahwa tindakan FGM sebagai tradisi sunat perempuan di Indonesia juga dikuatkan oleh regulasi Kementerian Kesehatan merupakan bukti bahwa negara melakukan pembiaran terhadap praktik-praktik penyiksaan dan tindakan merendahkan martabat manusia. Hal itu dalam pasal 16 Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi oleh Indoensia dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1998.
Praktik FGM juga melanggar Hak Sipil Politik yang juga telah diratifikasi dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2005, dan merupakan bagian dari tindakan diskriminatif terhadap perempuan seperti yang tertuang dalam konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.