Suara.com - Selama lima hari ini, sejak Kamis (19/6/2014) Naususu Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur semarak oleh berbagai kegiatan masyarakat adat Tiga Tungku. Ada workshop perempuan penenun, workshop petani menghadapi dampak perubahan iklim, perjalanan ritual adat dari desa Tune ke Naususu yang jaraknya mencapai 30 kilometer, gotong royong adat, pentas seni hingga sejumlah lomba.
Juga direncanakan dialog dengan Bupati Timor Tengah Selatan dan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal. Yah, orang-orang Molo, Amanuban dan Amantun yang tergabung dalam masyarakat adat Tiga Tungku tengah punya gawe. Hingga Senin (23/6/2014) mereka menggelar Festival "Nekafmese Tafena To Halat" atau Festival Nakafmese untuk yang keempat kalinya.
Festival Nekafmese tak lahir begitu saja. Ia lahir dari perjuangan panjang masyarakat adat Tiga Tungku dalam melawan pertambangan marmer yang sedang dan akan menghancurkan gunung batu, ritus adat sekaligus sumber air dan identitas sejarah mereka.
Perjuangan ini membuat masyarakat adat makin kuat dan dihargai. “Kami tidak akan menjual apa yang tidak bisa kami buat" menjadi ikrar yang menginspirasi kelompok lainnya. Ikrar ini juga mendorong masyarakat Amanuban, Amanatun dan Mollo untuk menata kembali pola produksi–konsumsi mereka sebagai bentuk pemulihan dan perawatan tatanan sosial ekologis yang selama ini telah dirusak industri ekstraktif.
Salah satunya dengan menggalakkan tenun dan pertanian organik dan mendirikan Organisasi Attaemamus (OAT). Saat ini anggota OAT termasuk 44 kelompok penenun perempuan yang mengembangkan tenun, juga lebih 100 kelompok tani yang mengembangkan pertanian organik. Wakil-wakil mereka akan menyampaikan pengalamannya pada Festival Nekafmese.
"Pertambangan di pulau-pulau seperti di pulau Timor akan membuat rakyat makin sengsara, seperti yang pernah kami alami di Naususu. Itu sebabnya, kita jangan kasih lepas tanah agar kita masih bisa makan dan mandiri," cetus Aleta Baun, Ketua OAT.
Perempuan yang biasa disapa mama Aleta ini memimpin perlawanan warga Naususu melawan perampasan ruang hidup oleh para pemilik modal, dengan mengajak perempuan menenun. Ia mengingatkan, warga di sekitar pertambangan tak hanya menghadapi masalah perampasan lahan, pelanggaran HAM dan krisis air. Tapi juga harus menghadapi dampak perubahan iklim yang mengakibatkan musim makin tak menentu, yang berbuntut gagal tanam maupun panen bagi petani.
Sementara ki Bagus Hadi Kusuma, Pengkampanye JATAM mengatakan seharusnya “Festival Nekafmese menjadi panutan bagi penyelenggara Negara, bagaimana masyarakat mampu membangun ekonomi yang berkelanjutan tanpa bergantung pada ekstraksi sumber daya alam.
Dalam filosofi masyarakat adat Tiga Batu Tungku, alam dipercaya sebagai tubuh manusia. Mereka memahami air sebagai darah, tanah sebagai daging, gunung batu sebagai tulang dan hutan sebagai kulit dan rambut. Merusak alam, sama saja dengan merusak tubuh manusia.
Semangat “Merawat Ikatan dengan Tubuh alam” inilah yang ingin disebar untuk mengingatkan Pemerintah dan rakyat bahwa alam – dengan kekayaan alamnya telah memiliki hubungan sosial dan ekologi dengan warga setempat sejak lama, puluhan bahkan ratusan tahun.