Suara.com - Selama ini muncul anggapan bahwa perkosaan adalah senjata yang sering digunakan kelompok yang sedang bertikai untuk melemahkan musuhnya. Perkosaan dinilai sebagai senjata ampuh yang jauh lebih murah dibanding peluru, demikian anggapan yang berkembang.
Mata dunia pun terus menyoroti tentang kekerasan seksual di tengah konflik dan apa yang dapat dilakukan untuk mengakhiri kejahatan mengerikan ini. Masalahnya, seberapa banyak yang benar-benar diketahui tentang masalah ini? Karena penelitian terbaru justru menunjukkan hal sebaliknya.
Berikut lima mitos tentang perkosaan dalam perang dan fakta yang ditemukan dari sejumlah penelitian.
1. Perkosaan digunakan sebagai senjata di banyak daerah konflik.
Faktanya kekerasan seksual bukanlah senjata pilihan bagi banyak kelompok bersenjata. Penelitian yang dilakukan Universitas Harvard dan Peace Research Institute Oslo menemukan sedikit sekali kasus kekerasaan seksual bahkan nyaris tidak ditemukan kasus perkosaan di banyak daerah konflik. Kasus perkosaan secara luas hanya ditemukan di Rwanda, Bosnia dan Kongo Timur.
2. Kekerasan seksual meningkat saat pecah konflik.
Kenyataannya tak seperti itu. Masalahnya adalah orang tak tahu pasti, karena survei biasanya melihat jumlah korban perkosaan dan hanya fokus pada mereka yang harus mengungsi. Bukan dalam satu populasi secara keseluruhan. Lebih jauh, angka perkosaan sebelum pecah konflik biasanya tidak tersedia, sehingga tidak ada data pembanding.
3. Korban perkosaan biasanya perempuan.
Kenyataannya banyak juga laki-laki yang menjadi korban. Tetapi kaum Adam biasanya tak terlalu terbuka dengan apa yang mereka alami dibanding kaum perempuan. Sebuah laporan terbaru menyebut satu dari tiga pengungsi laki-laki di Kongo pernah menjadi korban kekerasan seksual. Korban laki-laki juga ditemukan di 29 daerah konflik sejak 1998, tapi perlu penelitian lebih lanjut mengenai hal ini.
4. Pelaku perkosaan biasanya laki-laki.
Bukti yang dikumpulkan ternyata tidak sedikit tentara perempuan yang melakukan kekerasan baik pada perempuan maupun laki-laki. Menurut survei yang dilakukan pada 2010 di Kongo Timur, ternyta 41 persen pelaku kekerasan seksual adalah perempuan dan 10 persen korban adalah kaum Adam.
5. Dalam sebuah perang, orang bersenjata adalah pelaku utama pemerkosaan.
Faktanya masyarakat sipil diperkosa oleh orang-orang bersenjata lebih mungkin menjadi berita utama dibanding perempuan yang diperkosa suaminya sendiri.
Survei oleh International Rescue Committee menemukan banyak perempuan korban kekerasan seksual pada kenyataannya telah diperkosa oleh orang yang mereka kenal. Satu penelitian di Kongo timur antara tahun 2009 dan 2012, menemukan bahwa 18 persen dari kasus kekerasan seksual ternyata dilakukan orang dekat korban, 45 persen oleh anggota masyarakat sipil termasuk guru, pengusaha dan penyedia layanan, dan hanya 37 persen oleh kelompok bersenjata. Di Sierra Leone, Pantai Gading dan Liberia, lebih dari 60 persen korban mencari bantuan melaporkan kekerasan oleh pasangannya. (www.trust.org)