Mengenal Tradisi "Maasiri Rumah Sigit" di Pulau Haruku

Esti Utami Suara.Com
Jum'at, 23 Mei 2014 | 13:10 WIB
Mengenal Tradisi "Maasiri Rumah Sigit" di Pulau Haruku
Tradisi "Maasiri Rumah Sigit" di Pulau Haruku, Maluku Utara (Antara/Jimmy Ayal)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sepekan ini warga Negeri Rohomoni, Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah menggelar tradisi adat tahunan "Maasiri Rumah Sigit", yakni mengganti atap Masjid tua Uli Hatuhaha secara bergotong royong. Hingga Kamis (22/5/2014) ribuan warga Negeri Rohomoni bergotong royong mengganti atap masjid tua itu, yang dibangun pada abad 16 Masehi.

Masjid ini dibangun dengan konstruksi kayu tanpa menggunakan paku. Kayu-kayu bangunannya disusun dan pada setiap sambungan hanya diikat dengan menggunakan "gemutu" (ijuk pohon aren).  Sedangkan atapnya terbuat dari anyaman daun sagu yang disusun dengan tingkat kerapatan dan jarak tertentu agar tahan lama. Serat ijuk diselipkan untuk menghindarkan kebocoran.

Masjid tertua di Pulau Haruku tersebut merupakan tempat ibadah pertama yang dibangun oleh leluhur dari lima Negeri, yakni Rohomoni, Kabar, Kailolo, Pelauw dan Hulaliu. Prosesi pergantian atap masjid tua itu berlangsung selama empat hari sejak Senin (19/5).

Tradisi sisih atap (mengganti atap) yang dilakukan setahun sekali tersebut diawali prosesi doa dan ritual adat oleh para pemangku adat. Tidak sembarang orang diperbolehkan naik ke atap masjid untuk memotong atap yang rusak. Hanya seorang tokoh adat dituakan, ditunjuk sebagai orang pertama yang bisa naik ke atas atap Masjid. Setelah si tokoh adat memanjatkan doa barulah memotong atap pertama.

Setelah itu barulah warga beramai-ramai naik untuk membongkar atap yang rusak, kemudian bergotong royong menggantinya dengan atap yang baru dibuat. Para pemuda berbondong-bondong naik ke atas untuk memasang atap, sedangkan anak-anak dan remaja bertugas mengangkat daun atap yang rusak dari areal sekitar masjid untuk dibuang.

Sedangkan orang tua, bertugas menganyam daun sagu untuk dijadikan atap. Daun sagu ini ditebang dari hutan atau dusun terdekat sepekan sebelumnya.

Kaum perempuan dan ibu-ibu bertugas menyediakan "halapinya" atau disebut nasi piring, yakni berbagai jenis makanan baik berupa hasil kebun, sayuran, buah-buahan, ikan dan daging maupun kue-kue yang telah dimasak untuk disantap secara bersama-sama oleh laki-laki dan anak-anak yang telah bergotong royong dalam prosesi adat tersebut.

Berbagai jenis makanan itu disajikan di atas tikar yang digelar di rumah atau Soa tertentu, di mana para lelaki dan anak-anak  makan bersama-sama di sana.

Tanggung renteng.
Penggantian atap masjid ini dilakukan secara tanggung renteng. Sesuai ketentuan adat yang dikeluarkan tokoh adat atau Raja, setiap pria dan wanita dewasa diwajibkan menanggung lima "bengkawang" atau lembar atap, tiga diantaranya berukuran panjang dan dua berukuran pendek.

Budaya ini sudah berlangsung lama, dan dimaksudkan agar tidak memberatkan. Setiap warga ikut memikul beban kebutuhan ritual adat tersebut secara bersama-sama. Warga Negeri Rohomoni yang merantau juga ikut menyumbang atap (sesuai ketentuan) untuk keperluan ritual adat tersebut, sebagai bentuk tanggung jawab dan kecintaan untuk membangun negerinya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI