Suara.com - Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga (KS-PK) BKKBN Pusat, Dr Sudibyo Alimoeso MA mengatakan, perkawinan usia muda di Indonesia cukup tinggi.
Kondisi inilah yang memicu terjadinya kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan banyak berakhir dengan perceraian.
"Paling banyak kasus kawin muda terjadi di Kaltim, Banten, Jabar dan di Sumatera yakni Bangka Belitung dengan usia perkawinan 19-20 tahun, begitu pula di NTT," kata dia dalam kuliah umum bagi 500-an remaja Riau, di Pekanbaru, Senin (20/5/2014).
Mirisnya di NTT bahkan ada tradisi seorang remaja perempuan dibawa lari oleh remaja laki-laki, setelah itu baru dinikahinya.
Akan tetapi masalahnya, kata Sudibyo, nikah dini tentu rawan terjadi perceraian karena laki-laki belum mempunyai pekerjaan hingga tidak bisa menafkahi keluarganya. Padahal kondisi ini berbahaya untuk rumahtangganya.
"Kasus ini juga antara lain dipicu oleh UU Perkawinan yang menetapkan usia perkawinan resminya adalah 18 tahun, namun kenyataannya justru banyak yang menikah dalam usia 16 tahun," imbuhnya.
Perkawinan dalam usia muda, lanjut Sudibyo, cenderung kondisi sosial ekonominya belum mantap. Di samping itu, lanjut dia, organ produksi perempuan juga belum siap untuk melahirkan sehingga berdampak pula terhadap tingginya angka kematian ibu hamil dan melahirkan.
Namun pada 158 negara di dunia justru menetapkan usia perkawinan resmi 18 tahun sehingga UU Perkawinan Indoensia perlu direvisi.
Sementara itu untuk menekan kasus perkawinan usia dini ini orangtua harus menjadi panutan bagi mereka dan remaja pengurus PIK harus mampu menjadi konselor dan berkomunikasi dengan remaja. (Antara)