Suara.com - Halaman parkir penuh oleh mobil pengunjung, saat saya tiba di restoran Holy Crab di Jalan Gunawarman, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (8/5/2014) malam sekitar pukul 19.00 waktu Indonesia barat. Saat masuk ke dalam, ternyata penuh pengunjung. Hampir semua kursi di lantai dasar restoran yang baru dibuka Februari 2014 itu sudah terisi.
Mata saya juga menangkap interior yang fancy, dengan kursi-kursi dari logam dan meja kayu, berlatar dinding dari baja berwarna oranye menyala. Aksen kayu berwarna hijau pudar, sedikit melunakkan interior berkesan keras itu.
Interior seperti ini banyak ditemukan di banyak rumah atau restoran di Lousiana, AS, di mana Albert Wijaya bos dari Ersons Food Group, mendapatkan ilham untuk mendirikan restoran yang khusus menjual hewan laut bercangkang ini. Sekedar info, Erson Food Group juga mengelola Santouka Hokkaido Ramen and Grandma's Suki.
Konsep restoran ini terilhami dengan situasi yang ditemui Albert Wijaya, pemilik sekaligus pendiri Holy Crab, saat menuntut ilmu di Lousiana. Laki-laki yang sebenarnya tak terlalu menyukai hidangan laut, terpikat dengan cara nelayan Lousiana menyantap hidangan laut hasil tangkapan mereka. Nelayan Lousiana hanya merebus tangkapan mereka, dan menyantapnya dengan saus bersama anggota keluarga mereka di halaman belakang, dengan hanya beralaskan koran atau plastik. Tanpa piring apalagi sendok dan garpu.
“Cita-cita kami adalah untuk menghadirkan pengalaman bersantap hidangan laut ala Lousiana kepada para penikmat kuliner di Jakarta," ujar Willy Anthony, Konsultan Humas Holy Crab.
Maka di Holy Crab, hidangan laut itu, termasuk kentang maupun jagung rebus dihidangkan langsung di atas meja, dengan hanya beralaskan table mat. Tak ada piring, ataupun sendok dan garpu. Hanya alat pemecah cangkang, sebotol saus dan segulung tisu yang disediakan.
Untuk bumbu, Albert meramu sendiri berdasarkan bumbu khas Lousiana yang sudah disesuaikan dengan lidah orang Indonesia. Seperti di negara asalnya, hidangan laut di Holy Crab hanya direbus, tanpa tambahan bumbu apapun, baik garam maupun gula. Tapi di atas meja, hidangan itu tampak menggoda dengan lumuran bumbu racikan Chef Albert yang berbahan dasar mentega, bawang putih dan merica.
Bumbu dasar ini diterapkan untuk semua hidangan di Holy Crab, termasuk empat hidangan andalan mereka dungeness crab, king crab legs, snow crab legs dan lobstre. Bumbu dasar ini juga yang digunakan untuk hidangan laut yang menggunakan bahan lokal yakni udang, kepiting lumpur dan kepiting biru yang didatangkan dari Papua.
Untuk variasi, pengunjung bisa memilih empat tingkat kepedasan yakni mild, medium, spicy atau super pedas (Holy moly). Lumuran bumbu dengan rasa bawang yang menonjol dan samar rasa mentega itu ternyata cocok dengan manisnya daging kepiting ataupun udang rebus.
"Rasanya memang beda dengan seafood umumnya," ujar Moly, seorang pengunjung yang malam itu datang bersama tiga orang temannya. Moly mengaku baru sekali ini datang ke Holy Crab, karena tertarik dengan cerita teman-temannya.
Soal harga, lumayan mahal untuk ukuran kantung saya. Untuk sekali makan rata-rata diperlukan Rp250-450 ribu per orang. "Itu jika memadukan bahan lokal dan impor ya," ujar Willy mengingatkan.
Mereka yang peduli lingkungan mungkin akan terganggu dengan 'banyaknya' sampah yang dihasilkan restoran ini. Table mat yang digunakan di Holy Crab hanya sekali pakai. Juga, celemek plastik yang disediakan bagi para pengunjung untuk menghindarkan cipratan bumbu.
Belum lagi bahan-bahan yang sebagian besar harus diimpor dari Amerika ataupun Kanada. Tapi, jika melihat kepiting dan udang yang berlumur bumbu ala Holy Crab, Anda pasti akan tergoda.