Makna Sakral Gerabah di Kep. Aru

Esti Utami Suara.Com
Sabtu, 03 Mei 2014 | 09:42 WIB
Makna Sakral Gerabah di Kep. Aru
Ilustrasi gerabah (Foto: shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Gerabah dalam kebudayaan Kepulauan Aru, Maluku memiliki makna tersendiri. Bagi penduduk Kep. Aru proses pembuatan gerabah dari tanah liat yang biasa disebut dengan suram atau galor juga sering dimaknai sebagai penanda atau ramalan kehidupan orang Aru dari masa ke masa.

Pembuatan Suram (gerabah) yang dikerjakan kaum perempuan, dan dinilai menentukan alur kehidupan masyarakat tradisional di daerah tersebut. "Suram memiliki nilai sakral karena berperan penting dalam siklus kehidupan masyarakat Aru yang telah terbangun sejak adanya kepercayaan terhadap totenisme pada zaman dulu," kata Mezak Wakim, peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Ambon, beberapa waktu lalu.

Mezak menambahkan, jika dalam proses pembuatannya ada salah satu benda yang pecah, maka itu memberi pertanda akan datang kesialan maupun malapetaka bagi masa depan keluarga dari perempuan yang sedang mengerjakan suram itu. Kesialan itu berlaku baik dalam kelahiran maupun kematian.

"Alur kehidupan mereka sangat ditentukan dari berapa banyak gerabah yang berhasil dibuat," kata Mezak.

Meskipun secara umum hanya difungsikan sebagai peralatan memasak, para wanita Aru memiliki tempat khusus untuk membuat suram, dan selama proses pembuatannya yang memakan waktu beberapa hari, mereka tidak boleh diganggu.

Suram hanya bisa dibuat oleh perempuan yang telah 'kanena' atau dewasa yang ditentukan dengan telah memiliki kemampuan menjalankan tugas sebagai seorang perempuan dewasa, seperti memasak, berkebun, menenun dan menumbuk jagung di lumbung.
Perempuan Aru mengerjakan sendiri proses pembuatan gerabahnya, mulai dari pembentukan, penjemuran dan pembakaran untuk menguatkan benda itu.

Namun belakangan, suram atau galor mulai sulit ditemukan di Kepulauan Aru, karena perubahan tatanan sosial sebagai akibat asimilasi dengan kebudayaan luar.

"Saya menemukan adanya gejala perubahan pola manajemen sosial masyarakat tradisi ketika melakukan kontak dengan kebudayaan baru kemudian ada nilai-nilai yang mempengaruhi tatanan sosial masyarakat sebagai warisan alam, kalau dulu suram digunakan sebagai peralatan memasak, sekarang hanya dijadikan pajangan," pungkas Mezak. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI