Ada pula motif yang sudah sering saya lihat jika plesiran ke Bali. Namun ternyata kain ini berasal dari Lombok Nusa Tenggara Barat yang disebut Tapo Subhanale.
Di Lombok, kain ini dipakai sebagai busana untuk perempuan, kain sarung, dodot bagi laki-laki dalam upacara adat.
Selain kedua kain tersebut, ada pula selendang pelangi khas Bali, tapis kaco khas Lampung, Ulos sadum khas Tapanuli, tutup cerano khas Sumatera Barat, dan masih banyak lagi.
Menurut informasi yang saya dapatkan, koleksi di museum ini memiliki jumlah 2350, yang terdiri dari 886 kain batik, 819 kain tenun, 425 campuran, 70 peralatan, 150 busana dan tekstil kontemporer.
Jadi, di museum dengan gaya arsitektur Art Craft ini, kita tak hanya melihat kain khas nusantara, tetapi busana dan perlengkapan khas yang dipakai untuk upacara adat.
Saat saya ke sini, sayangnya beberapa tempat seperti ruang pengenalan wastra, pelatihan workshop dan galeri batik sedang tidak di buka.
Melihat suasana yang sepi dan jarang pengunjung, saya merasa sangat miris. Sekalipun ada yang berkunjung kebanyakan justru wisatawan luar negeri. Sedikit sekali saya melihat wisawatan dari dalam negeri.
Padahal, di tempat ini seharusnya kita benar-benar dapat menggali informasi, mengenal berbagai macam kain dan busana khas nusantara, agar negara lain tidak mengakui sebagai warisan dari bangsanya.
Hanum, pengunjung yang saya temui mengatakan bahwa museum ini sebenarnya menarik untuk dikunjungi. Hanya saja ada beberapa yang perlu diperbaiki agar terlihat lebih menarik.
"Mungkin bisa dibuat lebih menarik lagi untuk generasi muda biar banyak yang datang ke sini. Koleksinya juga bisa di tambah sama pihak museum," ujarnya.