Suara.com - Seorang laki-laki, sebut saja Andi, mengaku dirinya seorang fetis. Gairah seksnya baru muncul jika ada baju berenda dilibatkan dalam permainan itu. Atau kalau tidak, sang pasangan harus mengenakan baju berenda. Jika tidak, maka ia akan kehilangan minat.
Andi tentu tak bangga dengan kondisi yang dialaminya. 'Kesenangan' yang tak biasa ini membuatnya beberapa kali ditinggalkan perempuan yang pernah dikencaninya. Tapi ia tak tahu, apakah ada jalan keluar atas apa yang dialaminya.
Pamela Stephenson Conolly, seorang psikoterapis di London yang mengkhususkan diri pada kelainan seksual, menyebut kecil kemungkinan seorang penderita fetis disembuhkan. Karena kebiasaan itu sudah mengakar dan seolah menjadi bagian dari penderitanya.
Seorang penderita fetis merasakan kebutuhan kompulsif untuk menggunakan objek tertentu untuk menumbuhkan gairah sekaligus mendapatkan kepuasan seksual. Obyek itu beragam, bisa bagian tubuh tertentu, sepatu hak tinggi, atau malah mainan di masa kanak-kanak. Kelainan ini biasanya dipicu peristiwa penting di masa lalu.
Seorang fetis mungkin akan kesulitan menemukan pasangan yang mau mengerti kondisinya. Tetapi Connoly tetap tak menutup kemungkinan ada orang lain yang memiliki kesenangan yang sama. "Seseorang yang mungkin tidak persis sama, tetapi tetap bisa berbagi kesenangan dengan Anda," ujarnya.
Tanpa kompromi seperti itu, lanjut Connoly, seorang fetis akan terus merasa terisolasi. Lingkungan, sadar atau tidak sadar, sering memandang rendah seorang fetis. Ini membuat seorang fetis kurang percaya diri, atau bahkan bisa lebih parah, mereka bisa membenci diri sendiri. "Jadi pilihlah seseorang dengan rasa hormat yang tulus pada diri Anda," Connoly menyarankan.
Berbicara dari ke hati dengan pasangan menjadi penting bagi seorang fetis, untuk menjamin hubungan yang sejajar. Kesepakatan untuk saling memberi dan menerima akan menumbuhkan pengertian antara seorang fetis dan pasangannya. Cara ini juga akan membangun hubungan yang lebih sehat dalam arti yang sebenarnya, dan tak hanya terkait urusan ranjang. (Sumber: The Guardian)