Tanjidor, Riwayatmu Kini ...

Ririn Indriani Suara.Com
Sabtu, 22 Maret 2014 | 20:13 WIB
Tanjidor, Riwayatmu Kini ...
Parade Tanjidor di Bentara Budaya, Jakarta, Jumat (21/3/2014). (Foto: Suara.com/Dinda Rachmawati).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tanjidor merupakan salah satu kesenian musik tradisional Betawi.

Musik tradisional ini mendapat pengaruh kuat dari musik Eropa seperti Belanda dan Portugis, serta musik tradisional Cina.

Saat zaman penjajahan, penghasilan seniman tanjidor berasal dari saweran penonton yang hadir di acara hajatan besar tuan tanah atau bangsawan Eropa.

Sejarawan muda Betawi JJ Rizal menjelaskan, pada tahun 1952, keberadaan tanjidor dilarang oleh Wali kota Sudiro. "Musik tradisional ini dianggap merendahkan orang pribumi, karena saweran orang Tionghoa yang berikan kepada seniman tanjidor dianggap meminta-minta," jelasnya pada acara Diskusi dan Parade Tanjidor di Bentara Budaya, Jakarta, Jumat (21/3/2014) malam.

Padahal, menurut Rizal, saweran tersebut bukan merendahkan. Justru sebuah apresiasi karena orang Tionghoa menganggap tanjidor sebagai sebuah rahmat yang melindungi dari segala malapetaka dan hal-hal yang buruk.

Akibat pelarangan itulah, tanjidor mulai mengalami kemerosotan. "Namun mereka masih bisa tetap bertahan meski jumlahnya berkurang. Dari ratusan grup yang ada, berkurang menjadi sekitar puluhan jumlahnya di tahun 1980-an," ungkapnya.

Dan hingga saat ini, lanjut Rizal, jumlahnya hanya sekitar 30 grup tanjidor di Jakarta.

Ironisnya, di tengah teriak nyaring Gubernur dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang ingin menjadikan Betawi sebagai identitas kultural kota Jakarta, Rizal menilai, kenyataannya justru bertolak belakang. Ia berpendapat kepedulian Gubernur dan Pemprov DKI masih sangat kurang.

Ini terlihat dari eksistensi tanjidor yang mengalami krisis apresiasi dari masyarakat saat ini. Tak hanya itu, grup-grup tanjidor pun menghadapi kendala regenerasi.

"Otomatis mereka juga menghadapi kesulitan ekonomi, karena akhirnya tidak bisa lagi menjadikan tanjidor sebagai mata pencarian utamanya. Di titik inilah kemerosotan tanjidor semakin terjadi," jelas Rizal prihatin.

Meski diakuinya masih ada generasi muda yang mau mempertahankan musik tradisional tersebut, tetapi jumlahnya masih jauh dari harapan. Karenanya Rizal berharap generasi muda yang terpanggil untuk melestarikan tanjidor dapat membuat inovasi, terobosan atau kreativitas baru agar tanjidor bisa bertahan, dan beradaptasi sesuai perkembangan zaman tanpa meninggalkan ciri khasnya.

Kreativitas ini, kata Rizal, sangat mungkin dilakukan mengingat tanjidor memang mempunyai keluwesan untuk berkolaborasi menjadi berbagai macam jenis tanji.

"Ada tanji lenong, tanji topeng (jipeng), tanji orkes (jikres), tanji dengan musik dangdut (tanjidut), tanji dengan musik Sunda maupun melayu dan masih banyak lagi," ujarnya bersemangat.

Oleh karena itulah Rizal berharap, nantinya generasi muda dapat mengemasnya sedemikian rupa yang menarik perhatian masyarakat dari berbagai usia dan latar belakang.

"Misalnya membuat tanji rock, tanji jazz atau tanji classic. Namun, musik tanjidornya yang asli harus tetap diperhatikan" tambahnya.

Dengan kolaborasi tersebut, Rizal berharap, kelak tanjidor tak hanya tampil di acara resmi seperti pernikahan dan penyambutan tamu agung, tetapi juga di acara yang lebih luas lagi seperti pesta, konser atau pertunjukan musik modern.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI