Meninggalkan Kemewahan New York untuk Menari di Rwanda

admin Suara.Com
Minggu, 23 Februari 2014 | 15:57 WIB
Meninggalkan Kemewahan New York untuk Menari di Rwanda
LaMar Baylor, penari New York yang hijrah ke Rwanda untuk mengajari anak-anak di negara itu. (Sumber globalgivinb.org)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - LaMar Baylor adalah salah satu penari paling terkemuka di New York, Amerika Serikat. Selama bertahun-tahun Baylor berkreasi di The Lion King Musikal Broadway, hingga mampu meraih kepopuleran.

Tetapi, pada 2011, Baylor justru mengubah jalan hidupnya. Kemewahan yang selama ini dirasakan rela ditinggalkan untuk pindah ke Kigali, Rwanda, guna mengajarkan tarian kepada anak-anak korban perang di negara itu.

Kontan, keputusan Baylor mengejutkan semua pihak. Mereka khawatir hidup Baylor terancam dengan memutuskan hijrah ke negara konflik tersebut.

Namun berkat keteguhan hatinya, Baylor tetap melangkah lurus ke Rwanda, bergabung dengan Rebecca Davis yang telah lebih dahulu mengajarkan tarian di sana.

"Anak-anak ini telah melalui kehidupan yang tak semua orang mampu melewatinya. Anak-anak ini korban genosida, banyak pula yang telah mengalami pahitnya hidup dalam penjara. Ada juga yang telah dilacurkan karena mereka kehilangan keluarga akibat konflik," kata Baylor.

"Di sini saya menawarkan tarian agar anak-anak itu dapat bangkit dan semangat menjalani hidup dan meraih masa depannya. Agar mereka dapat mengekspresikan diri seperti yang tidak pernah mereka alami sebelumnya," lanjut Baylor.
'
Lewat tarian, Baylor menjelaskan, anak-anak Rwanda diajarkan untuk mengekspresikan emosinya melalui koreografi. "Ini adalah cara untuk belajar disiplin. Mereka diajarkan bagaimana mengekspresikan emosinya dalam bentuk koreografi di jelas, agar emosi mereka dapat tersalurkan lewat cara-cara yang positif," ujarnya.

Tari Pendidikan Tepat di Negara Konflik
Rebbeca Davis, direktur program ini, mengatakan bahwa tarian adalah metode yang tepat untuk mendidik anak-anak Rwanda. Awalnya, kata Davis, program ini tercipa saat ia mengunjungi Rwanda pada 2008 silam. Saat itu, Davis melihat banyak anak Rwanda yang menari di jalan-jalan.

"Saya memutuskan untuk menari bersama mereka. Mereka suka apa yang saya lakukan," kata Davis.

Selepas itu, gairah Davis untuk membantu anak-anak Rwanda pun semakin kuat. Ia mencari sponsor untuk dapat menyokong program yang dibuatnya. Setelah berjuang selama beberapa waktu, sponsor yang diharapkannya pun tiba.

"Kami menemukan sponsor terbaik. Mereka mau membuatkan sekolah an asrama bagi anak-anak Rwanda," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI