Suara.com - Ratusan masyarakat menggelar aksi demonstrasi di halaman depan KPU dan Bawaslu Kabupaten Bogor untuk menuntut kecurangan-kecurangan selama pelaksanaan Pilkada.
Aksi yang diwarnai dengan alat peraga keranda mayat, bendera kuning hingga pakaian serba hitam itu, menjadi simbol untuk kematian demokrasi di Kabupaten Bogor.
"Makna itu adalah matinya demokrasi di Kabupaten Bogor, artinya baju hitam itu menandakan kita berduka. Kabupaten Bogor berduka dalam hal demokrasinya," kata Koordinator aksi, Ali Taufan Vinaya (ATV), Jumat 6 Desember 2024.
Ia menyebut, demonstrasi itu dilakukan bukan masalah siapa menang atau kalah pada kontestasi Pilkada. Namun, kata dia, aksi tersebut untuk menjaga nilai-nilai demokrasi di Kabupaten Bogor.
"Perlu diketahui semuanya bahwa aksi hari ini bukan mempersoalkan kalah ataupun menang. Bukan mempersoalkan siapa yang jadi Bupati ataupun tidak menjadi Bupati, tapi lebih kepada menjaga nilai-nilai dan marwah demokrasi itu sendiri," jelas dia.
Sebab, ATV menduga banyak pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan secara sistematis oleh penyelenggara tingkat TPS hingga Kabupaten.
"Kedua kita melihat adanya kecurangan-kecurangan baik itu secara sistematis terukur terstruktur, sistematis dan masif. Dimana baik itu KPU ataupun Bawaslu penyelenggara dan pengawas kita lihat sudah berpihak kepada salah satu calon," jelas dia.
Misalnya, kata ATV, kecurangan penyelenggara pemilu di TPS 09 Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor yang dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) beberapa hari lalu.
"Ada, misalnya surat panggilan itu dibawa sebenarnya sudah naik di media beberapa waktu lalu. Misalnya kalau tidak salah C6 surat undangan itu ambilin oleh pihak KPPS. Itukan gaboleh. Terus ada suara 13-14 suara tapi tidak dimasukan di Cisarua, itukan jadi salah satu persoalan," jelas dia.
Baca Juga: Hasil Rekapitulasi Provinsi: Pramono-Rano Unggul di Jakut, Jaksel, Jakbar Hingga Jaktim
Ia menyebut, demokrasi bukan persoalan seberapa kecil suara masyarakat yang hilang, tapi seberapa berharga satu suara masyarakat untuk keberlangsungan demokrasi.
"Ini kan bukan masalah menang telak atau tidak, tapi yang 14 suara itu kan adalah wajib dicatet walaupun hanya 14 suara. karena itu bisa mempengaruhi suara," tutup dia.
Kontributor : Egi Abdul Mugni