Suara.com - Ujaran kebencian di media sosial masih mewarnai kontestasi Pilkada serentak 2024. Berdasarkan temuan Universitas Monash, Australia, ujaran kasus itu selama momen Pilkada bahkan lebih banyak dibandingkan ketika Pilpres 2024.
Peneliti Universitas Monash untuk Indonesia Ika Idris mengatakan pihaknya pernah meneliti tren ujaran kebencian di medsos selama masa Pilpres, yakni dari September 2023 hingga Maret 2024.
Hasilnya, selama enam bulan tersebut didapati 1,5 juta data dengan sekitar 200 ribu ujaran kebencian yang beredar secara nasional.
Penelitian serupa dilakukan pada saat momen Pilkada serentak 2024, yakni pada Agustus sampai dengan 4 November. Kurang dari empat bulan, para peneliti menemukan sekitar 16.700 ujaran kebencian terkait Pilkada serentak yang beredar di media sosial.
Padahal, penelitian itu baru dilakukan di lima provinsi, Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Baca Juga: Politisi PDIP: Dukungan Anak Abah dan Ahokers Untuk Pram-Rano Bikin Demokrasi Sejuk
"Ini cuma di 5 provinsi aja itu kita sampai 16 ribu. Artinya ini sekitar 15 persen ya dari 200 ribu. Jadi memang pasti lebih tinggi, sih, menurut saya. Secara kasar saya bisa bilang ini pasti lebih tinggi daripada nasional," kata Ika dalam diskusi virtual bersama Aliansi Jurnalis Independen, Minggu (24/11/2024).
Menurutnya, pada kostestasi Pilkada, potensi untuk mendiskreditkan calon, komunitas, maupun kelompok rentan bisa terjadi di 545 daerah. Sehingga peluang beredarnya ujaran kebencian menjadi sangat besar dengan berbeda-bedanya budaya dan sentimen di setiap daerah.
Selain itu, menurut Ika, ada fenomena 'pembiaran' ujaran kebencian beredar di media sosial. Hal tersebut bahkan dianggap sebagai bagian dari strategi politik agar bisa menang.
"Namanya konstansi politik, pasti orang berupaya untuk menang dan kalau untuk menang pasti dia akan melakukan berbagai cara. Ketimbang mengedukasi politik, lebih efektif sebetulnya menyebarkan ujaran kebencian atau polarisasi karena mengedukasi butuh kerja keras," tuturnya
'Strategi' menyebarkan ujaran kebencian tersebut lebih berpotensi dilakukan oleh calon kepala daerah yang bukan politisi tulen, misalnya publik figur yang belum lama berkegiatan politik.
Baca Juga: APBD Banggai Sulteng Bengkak Untuk Pembelian Gamis dan Jilbab Jelang Pilbup, Pengamat: Mencurigakan
"Jangan sampai sebetulnya isu-isu kelompok rentan dimainkan, karena banyak mereka sulit membela diri," ujar Ika.