Suara.com - Calon Gubernur Jakarta nomor urut 3, Pramono Anung menanggapi soal pernyataan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri yang mengaku mendapat laporan soal ketidaknetralan aparat negara dalam pelaksanaan Pilkada 2024 di sejumlah daerah.
Namun, hal sebaliknya dirasakan Pramono. Pram mengaku, sejauh ini dirinya tidak menemukan hal yang disebutkan Megawati.
"Selama ini saya nyaman-nyaman saja, pokoknya di Jakarta saya nyaman saja, terima kasih semua aparat," kata Pramono, di Kedoya Selatan, Jakarta Barat, Kamis (21/11/2024).
Pramono sendiri, ogah pusing memikirkan dugaan ketidaknetralan perangkat negara dalam tahapan Pilkada 2024. Yang saat ini menjadi fokus dirinya yakni menggencarkan kampanye sebelum berakhir pada tanggal 23 nanti.
Baca Juga: Blak-blakan Kasih Dukungan, Anies Pede Pramono-Rano Menang di Pilkada Jakarta
"Pokoknya politik saya enggak mau berprasangka, riang, gembira. Kalau pasti ada (kecurangan), pasti saya tahu. Sampai hari ini, saya akan fight tetap, karena tinggal dua hari ke depan," kata Pramono.
Sebelumnya, Megawati Soekarnoputri mengaku mendapat laporan soal ketidaknetralan aparat negara di Pilkada Serentak 2024.
Aparat bahkan memaksa masyarakay hingga melakukan politik uang kepada masyarakat untuk memilih pasangan calon kepala daerah tertentu.
"Saya mendengar begitu banyak laporan terhadap institusi negara yang tidak netral,” kata Megawati melalui tayangan video yang diputar di Kantor DPP PDIP, Menteng Jakarta Pusat, Rabu (20/11/2024).
“Mereka memaksakan pasangan calon tertentu dengan berbagai intimidasi dan sekaligus iming-iming sembako gratis, bahkan uang. Itu semua adalah bagian dari money politic,” imbuhnya.
Mega juga menyinggung soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 136/PUU-XXII/2024 yang mengubah frasa lada pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2018.
putusan tersebut berbunyi "setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat ASN, anggota TNI-Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600 ribu atau paling banyak Rp6 juta".
"Ingat bahwa Mahkamah Konstitusi telah mengambil keputusan yang sangat penting bahwa aparatur negara yang tidak netral bisa dikenakan sanksi pidana," tukas Megawati.