Suara.com - Debat Publik Kedua untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Tengah tahun 2024 menghadirkan empat pasangan calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub).
Gelaran ini mulai dilaksanakan di Studio Metro TV Jakarta pada Sabtu (9/11/2024) siang Waktu Indonesia Barat atau jam 16.00 waktu Papua.
Salah satu topik yang dibahas terkait program nasional transmigrasi yang diusung Presiden Prabowo Subianto untuk Papua.
Tema tersebut hadir saat sesi pertama tanya jawab saat dua Calon Gubernur Papua Tengah, Meki Frits Nawipad dan Natalius Tabuni saling bertukar pandangan terkait implementasi kebijakan transmigrasi.
Baca Juga: Debat Pamungkas Pilgub Papua Tengah, Lima Isu Krusial Jadi Sorotan
Mulanya, Tabuni mengajukan pertanyaan kepada Meki Frits Nawipa terkait cara terbaik untuk mengelola program transmigrasi, mengingat gubernur berfungsi sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah.
"Bagaimana Anda bisa menangani transmigrasi ini dengan baik dan sesuai arahan dari pemerintah pusat tanpa mengecewakan masyarakat lokal yang menerima maupun yang menolak?" tanya Tabuni.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Meki menegaskan telah memahami tujuan program transmigrasi yang direncanakan Presiden Prabowo Subianto.
Meki menegaskan bahwa program transmigrasi yang didukungnya, yakni pergeseran penduduk dari wilayah pedalaman ke kota-kota terdekat, bukan dari luar Papua.
Kemudian, ia memberi contoh, seperti memindahkan penduduk dari Puncak Jaya ke Timika, atau dari Intan Jaya ke Nabire.
"Kami mendukung model pembangunan di kampung-kampung yang meliputi fasilitas seperti sekolah, lapangan olahraga, bendungan, dan air bersih. Dengan demikian, penduduk di kampung bisa lebih sejahtera tanpa harus meninggalkan tanah asal mereka," ujar Nawipa.
Ia menambahkan bahwa pemerintah daerah sebagai perwakilan pusat tetap mendukung kebijakan Presiden Prabowo untuk memastikan agar masyarakat di kampung-kampung dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi, akses pendidikan, dan kualitas hidup yang lebih baik.
Tabuni kemudian menekankan pentingnya proteksi dan pelaksanaan kebijakan transmigrasi dengan melibatkan studi kelayakan yang matang. Ia mengusulkan keterlibatan akademisi, lembaga sosial, dan Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam setiap langkah implementasi.
"Kami ingin memastikan bahwa program transmigrasi ini memiliki solusi yang tepat tanpa melibatkan pihak-pihak yang tidak relevan, dan tentunya dengan melibatkan semua stakeholder," tegasnya.
Menanggapi hal tersebut, Meki Frits Nawipa menekankan pentingnya penghormatan terhadap hak ulayat sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001, terutama Pasal 60 ayat 3 dan 4.
Ia menekankan bahwa kewenangan kepala daerah untuk menguatkan peraturan daerah khusus (perdasi) harus melibatkan tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat untuk menentukan apakah program tersebut dapat diterima oleh masyarakat adat.
"Jika masyarakat pemilik tanah menolak, maka sebagai perwakilan pemerintah pusat, kita akan menyampaikan kepada presiden bahwa masyarakat menolak. Namun, jika masyarakat menerima, kita akan melaporkan penerimaan itu juga," ujarnya.
Nawipa menutup dengan pernyataan bahwa meskipun ada keputusan dari pemerintah pusat, otonomi khusus di Papua memberikan ruang bagi masyarakat daerah untuk berperan aktif dalam pengambilan keputusan, khususnya dalam program yang berdampak langsung pada masyarakat lokal.
Kontributor : Elias Douw