Selain mengerahkan aparat penegak hukum, lanjut Ronny, pihaknya juga menemukan adanya dugaan pengerahan aparatur sipil negara (ASN) hingga intervensi kepada para kepala desa di sejumlah daerah.
“Tren tidak berhenti hanya di pilpres, tapi juga cawe-cawe Jokowi ini perannya sangat terlihat di Pilkada,” kata Ronny.
Ronny merinci, di Jawa Tengah, sedikitnya ada sekitar 386 dugaan pelanggaran netralitas ASN dan kepala desa, dalam mendukung Paslon tertentu.
Atas temuan tersebut, saat ini Bawaslu Jawa Tengah telah merekomendasikan ke Badan Kepegawaian Negara (BKN) pusat. Namun, laporan sampai kini belum mendapatkan sanksi yang tegas terhadap ASN yang terlibat.
Selain Jawa Tengah, Ronny menyebut, pola serupa juga terjadi di beberapa wilayah seperti Jawa Timur, Banten, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Kalbar, hingga Maluku dan Papua.
"Pola cawe-cawe ini tidak terjadi secara parsial, tapi kami melihat ini sistem komando dari tingkatan Polda, Polres dan Polsek, lalu camat hingga kepada kepala desa. Di Sulawesi Utara ada pemanggilan kepolisian dan kepala desa secara serentak pemanggilan ini sistemik dan tidak berdiri sendiri, jika tidak ditindak akan merusak iklim demokrasi,” beber Ronny.
Guna mencegah lebih masifnya kecurangan dalam Pilkada, lanjut Ronny, saat ini PDIP membentuk 10 ribu posko hukum di setiap provinsi untuk mengawasi keberlangsungan Pilkada dari segala bentuk intimidasi dan kecurangan.
“Maka hal-hal yang kami lakukan contohnya di Jawa Tengah, kami membentuk posko hukum 10 ribu posko. Itu adalah adanya di rumah-rumah masyarakat yang ikut mengawasi kecurangan-kecurangan atau intimidasi-intimidasi yang terjadi,” ujar Ronny.
Dengan adanya pengawasan tersebut, masyarakat diharapkan dapat memilih pasangan calon berdasarkan hati nurani, tanpa adanya intervensi dari pihak luar.
Baca Juga: Beres Sowan ke Jokowi dan SBY, Prabowo Niat Temui Megawati
Termasuk, melaporkan kepada Posko jika melihat, menyaksikan atau menerima intimidasi dari aparat dalam Pilkada.