Suara.com - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem meminta adanya perubahan Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada. Hal itu disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Perludem bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (30/10/2024).
Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati mengusulkan dua undang-undang tersebut disatukan dalam satu payung hukum.
Ia mengutip Mahkamah Konstitusi bahwa dalam UUD 1945 tidak ditemukan perbedaan antara rezim pemilu dan pilkada. Pemilu dan Pilkada sama-sama diselenggarakan KPU, pemilihnya sama, peserta pemilunya yaitu partai politik.
"Sehingga sudah tidak ada lagi perbedaan rezim. Untuk itulah, kami mendorong Undang-Undang Pemilu dan Pilkada bisa disatukan dalam satu naskah atau kodifikasi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada," kata Khoirunnisa.
Baca Juga: Resmi Dukung RK di Pilkada Jakarta, Relawan Projo Akui Diarahkan Jokowi
Apalagi, kata dia, alasan hal itu harus dilakulan lantaran UU Pemilu adalah regulasi yang paling banyak diuji di MK.
Sementara itu, hal lain yang menjadi sorotan untuk direvisi adalah keserentakan pemilu. Belajar dari pemilu sebelumnya, keserentakan penyelenggaraan pemilu menghasilkan sebuah kompleksitas.
"Jadi kalau yang tadi di putusan nomor 14 tahun 2013, MK mengatakan pemilunya harus serentak 5 kotak, di putusan nomor 55 tahun 2019 ini ada pergeseran dari Mahkamah Konstitusi yang mengatakan varian keserentakan itu diserahkan kepada pembentuk Undang-Undang yang dikunci oleh Mahkamah Konstitusi adalah menyerentakkan pemilu Presiden, DPR, DPD itu harus pada satu hari yang sama. Tapi varian lainnya itu diserahkan kepada pembentuk Undang-Undang," katanya.
Mengenai hal itu, kata dia, MK memberi opsi memisahkan pemilu nasional dan daerah, atau level nasional, provinsi, kabupaten dan kota.
"Nah Mahkamah Konstitusi mengunci tiga pemilu ini dalam satu hari yang sama, karena dalam putusan Mahkamah Konstitusi biasanya terkait dengan sistem pemilu, MK selalu menekankan bahwa pemilu kita haruslah yang memperkuat sistem presidensil, salah satu upayanya adalah dengan menyerentakan antara Pilpres, DPR, dan DPD-nya," ujarnya.
Selain itu, ia juga membeberkan ada putusan MK terkait pembentukan daerah pemilihan. MK mengeluarkan putusan kewenangan penetapan Dapil berada di KPU, tidak perlu dalam lampiran Undang-Undang Pemilu. Lalu, ada juga putusan MK yang meminta menghitung ulang ambang batas parlemen.
"Jadi Mahkamah Konstitusi tetap mengatakan bahwa adanya parliamentary threshold itu konstitusional, hanya menghitungnya saja harus dilakukan dengan formulasi penghitungan yang layak, dan tetap mempertimbangkan proporsionalitas hasil pemilu," ungkapnya.
Kemudian juga soal perbaikan sistem pemilu antara terbuka dan tertutup. MK menyebut kewenangan itu pada pembentukan undang-undang.
"Jadi di dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan undang-undang pemilu, kalau kita baca amarnya memang mayoritas ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, tapi kalau kita baca pertimbangan hukumnya, itu ada beberapa rekomendasi-rekomendasi dari Mahkamah Konstitusi yang MK mengatakan ini perlu dipertimbangkan jika ada revisi terhadap undang-undang terkait," katanya.
Di sisi lain, Perludem juga mendorong revisi UU Partai Politik. Perludem merasa perlu ada perubahan UU Parpol terkait bagaimana mendorong demokrasi internal partai politik agar semakin terlembaga.
"Karena kami meyakini bahwa partai politik memiliki fungsi yang sangat signifikan. Hari ini semua pengisian pejabat publik harus dari partai politik, sehingga mensyaratkan partai politik yang bisa lebih terlembaga dengan baik," pungkasnya.