Alasan Berpotensi Kriminalisasi, MK Tolak Gugatan Dosen UII soal Perluasan Subjek Pelaku Politik Uang di Pemilu

Rabu, 16 Oktober 2024 | 12:34 WIB
Alasan Berpotensi Kriminalisasi, MK Tolak Gugatan Dosen UII soal Perluasan Subjek Pelaku Politik Uang di Pemilu
Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi, Suhartoyo membacakan hasil putusan saat sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilu Umum (PHPU) di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Mahkamah Konstitusi(MK) menolak perluasan subjek pelaku tindak pidana politik uang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), lantaran ketiadaan pembatasan dapat mengkriminalisasi setiap orang dan menimbulkan kesewenang-wenangan.

“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan perkara nomor 59/PUU-XXII/2024 di Jakarta, Rabu (16/10/2024).

Dalam gugatan tersebut, para pemohon yang merupakan akademisi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia menggugat Pasal 523 UU Pemilu yang mengatur subjek pidana politik uang hanya sebatas "pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye".

Menurut mereka, pengaturan itu terlalu sempit sehingga memberikan perlindungan untuk kalangan relawan dan/atau simpatisan yang tidak terdaftar sebagai pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye di KPU, untuk melakukan politik uang.

Baca Juga: 2 Hari Digembleng, Rundown Pembekalan Calon Kabinet Prabowo di Hambalang: Bahas Geopolitik, AI hingga Antikorupsi

Dengan demikian, pemohon menginginkan perluasan frasa subjek pelaku, dari frasa “setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye", menjadi “setiap orang”.

Dalam pertimbangan putusan yang dibacakan Suhartoyo, MK menilai perluasan terhadap subjek hukum atau pelaku tindak pidana politik uang dalam pemilu dapat berlaku bagi setiap orang, maka hal tersebut tidak tepat.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kanan) dan Wakil Ketua Saldi Isra (kiri) saat memimpin sidang putusan uji formil putusan nomor 90 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (16/1/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kanan) dan Wakil Ketua Saldi Isra (kiri) saat memimpin sidang putusan uji formil putusan nomor 90 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (16/1/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]

“Karena ketiadaan pembatasan dapat mengkriminalisasi setiap orang dan menimbulkan tindakan kesewenang-wenangan,” ucap Suhartoyo.

Suhartoyo menegaskan, hal itu tergolong sebagai politik pemidanaan alias criminal policy.

Terhadap hal demikian, ujar dia, Mahkamah dalam beberapa putusannya selalu konsisten dengan pendiriannya, bahwa berkaitan dengan hal tersebut menjadi kewenangan pembentuk undang-undang.

Baca Juga: Namanya Masuk Kabinet, Aksi Gus Miftah Puji Program Prabowo Mencontoh Rasul Disorot Lagi: Jualannya Laku Ya

Ia menambahkan, frasa "setiap orang" itu juga sebetulnya telah terkandung dalam frasa "orang-seorang" pada Pasal 269-271 UU Pemilu terkait pelaksana kampanye pemilu.

Oleh sebab itu, MK menilai bahwa gugatan dan contoh kasus yang dikemukakan para pemohon dalam gugatannya merupakan persoalan implementasi norma yang bukan menjadi kewenangan MK untuk menilainya.

"Dalam hal ini, apabila masyarakat menganggap bahwa dalam UU 7/2017 (UU Pemilu) masih memiliki kelemahan terutama mengenai subjek hukum/pelaku tindak pidana politik uang dalam pemilu, maka pembentuk undang-undang dapat membuat norma hukum baru dengan mengganti norma hukum lama, yakni dengan memuat rumusan mengenai subjek hukum/pelaku tindak pidana politik uang dalam perubahan UU Pemilu mendatang," ucap Suhartoyo. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI