Suara.com - Dalam debat perdana Pilkada Jakarta, gagasan transportasi yang diusung oleh Calon Gubernur (Cagub) Jakarta, Ridwan Kamil dan Pramono Anung mencuri perhatian publik.
Keduanya menawarkan solusi yang terlihat tidak hanya inovatif, tetapi juga realistis untuk memperbaiki tantangan transportasi ibu kota.
Menurut Pengamat transportasi sekaligus Ketua INSTRAN (Inisiatif Strategis untuk Transportasi), Darmaningtyas, kedua ide ini memiliki potensi besar untuk diwujudkan.
Darmaningtyas menyebutkan, gagasan Ridwan Kamil untuk menghidupkan kembali transportasi air di Jakarta sudah memiliki pijakan yang kuat.
Baca Juga: Polusi Udara Jakarta Makin Mengkhawatirkan, Harus jadi Isu Prioritas Calon Pemimpin
Gagasan ini tidak mengada-ada, karena telah diimplementasikan pada masa Gubernur Sutiyoso di tahun 2007 melalui program angkutan sungai (waterway), meskipun kemudian tidak dilanjutkan.
“Jadi tidak mengada-ada dan berarti landasan hukumnya sudah cukup kuat, tinggal mengimplementasikan saja. Memang dibutuhkan investasi yang besar untuk membenahi sungai di Jakarta."
"Tapi itu lebih baik sekaligus menjadi peluang untuk membenahi sungai-sungai di Jakarta agar terpelihara dengan baik," ujarnya mengutip Antara.
Tak hanya soal transportasi, gagasan ini juga menyimpan manfaat lingkungan. Darmaningtyas menekankan bahwa revitalisasi sungai demi transportasi air adalah kesempatan emas untuk memperbaiki ekosistem sungai Jakarta yang selama ini terabaikan.
Sungai-sungai bisa lebih bersih, debit air bisa dikelola dengan baik agar stabil, dan aliran sungai tidak meluber saat musim penghujan.
Baca Juga: Survei Debat Pilkada Jakarta versi SMRC: Pramono-Rano Teratas, RK-Suswono dan Dharma-Kun Keok!
"Pembersihan sungai dan pengelolaan debit air yang baik bisa menciptakan transportasi yang efisien sekaligus menjaga lingkungan," katanya.
Gagasan transportasi air Ridwan Kamil juga dipandang sebagai peluang untuk membuka lapangan kerja baru. Pemeliharaan sungai, pembangunan infrastruktur air, dan pengoperasian moda transportasi sungai tentu akan menciptakan serapan tenaga kerja.
Sementara itu, gagasan Pramono Anung untuk memperluas layanan Transjakarta hingga wilayah Jabodetabek juga dinilai realistis oleh Darmaningtyas. Dengan UU No. 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta, DKI Jakarta kini dapat memberikan subsidi untuk layanan transportasi ke wilayah aglomerasi seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
"Dan sebaiknya memang demikian, layanan transportasi di Jakarta ini tidak boleh terputus dengan layanan transportasi di kawasan sekitarnya (Bodetabek),” kata Darmaningtyas.
Langkah ini dinilai mampu merespons masalah utama transportasi di Jakarta, yakni volume kendaraan pribadi yang memadati jalan-jalan ibu kota.
Apabila layanan Transjakarta diperluas ke Bodetabek, harapannya pengguna kendaraan pribadi beralih ke transportasi umum.
Namun, Darmaningtyas menegaskan bahwa perlu ada kolaborasi lebih erat antara pemerintah daerah di sekitar Jakarta untuk membuat layanan ini efektif.
Menurut Darmaningtyas, tantangan nyata dalam perbaikan sistem transportasi bukan terletak pada manajemen pengelola transportasi publik, tetapi pada kurangnya kesadaran masyarakat untuk beralih ke transportasi umum dan sikap pasif pemerintah daerah di sekitar Jakarta.
Meskipun layanan transportasi umum di Jakarta sudah cukup baik, pemindahan pola pikir masyarakat dari penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan umum membutuhkan lebih dari sekadar layanan yang memadai—perlu ada dorongan budaya dan kebijakan yang tegas.
Kedua gagasan yang diusung Ridwan Kamil dan Pramono Anung dalam debat Pilkada ini, menurut Darmaningtyas, memberikan secercah harapan bagi solusi transportasi di Jakarta.
Dengan perencanaan yang matang dan komitmen kuat dari semua pihak, Jakarta bisa bergerak menuju sistem transportasi yang lebih terintegrasi, ramah lingkungan, dan efisien. Namun, langkah ke depan membutuhkan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan swasta untuk merealisasikannya.
Pada akhirnya, baik gagasan transportasi air Ridwan Kamil maupun rencana Pramono Anung untuk memperluas Transjakarta ke wilayah aglomerasi, menawarkan prospek positif bagi Jakarta dan sekitarnya. Pertanyaannya sekarang, apakah para pemimpin di masa mendatang siap untuk mewujudkan ini semua?