Suara.com - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyoroti minimnya keikutsertaan perempuan dalam kontestasi Pilkada serentak 2024.
Plt. Sekretaris Menteri PPPA Titi Eko Rahayu mengkritik, belum ada partai politik yang memiliki proses rekrutmen khusus bagi kandidat perempuan. Serta belum ada partai yang mengatur program tindakan afirmatif untuk mempromosikan kandidat perempuan.
Titi menyebut perempuan yang menjadi calon kepala daerah dalam Pilkada serentak 2024 hanya sekitar 9,44 persen. Angka tersebut tentu tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Pemilu tentang keterwakilan perempuan minimal 30 persen.
"Akibatnya, perjuangan kepentingan perempuan dan anak menjadi minim," kata Titi dalam media talk Kemen PPPA di Jakarta, Senin (9/9/2024).
Menurut dia, minimnya partisipasi politik perempuan untuk maju dalam ajang Pilkada, menjadi keprihatinan karena mengecilkan kekuatan perempuan untuk memajukan Indonesia, khususnya dalam bidang politik.
Rendahnya partisipasi perempuan juga dinilai sebagai tanda kalau perempuan masih terpinggirkan dalam kompetisi politik.
"Perempuan yang maju dalam bursa Pilkada, banyak dipertanyakan kemampuannya. Mereka dinilai dari cara mereka berdandan sampai statusnya sebagai janda. Perempuan juga distereotipkan sebagai orang yang tak pantas memimpin. Identitas inilah yang menyebabkan perempuan menjadi enggan untuk berbicara terbuka, malu, tidak percaya diri," beber Titi dalam paparannya.
Kondisi seperti itu tak lepas dari karakteristik sistem politik Indonesia yang didominasi budaya patriarki, memandang perempuan sebagai sosok lemah dan tidak bermanfaat.
"Padahal kehadiran perempuan politik sangat penting untuk pengambilan keputusan dan kebijakan berperspektif gender," tegas Titi.
Baca Juga: Ingat! Dilarang Ikut Kampanye, Simak 11 Bentuk Eksploitasi Anak-anak di Pilkada 2024
Kemen PPPA mencatat setidaknya ada tiga faktor penyebab minimnya wajah perempuan dalam Pilkada serentak 2024.
1. Stereotype
Pandangan-pandangan, anggapan, atau kepercayaan negatif terhadap salah satu jenis kelamin. Pandangan-pandangan stigmatik dan negatif yang merendahkan memiliki dampak yang merugikan
2. Marginalisasi
Proses penyingkiran kepentingan, hak-hak, kebutuhan, serta aspirasi berdasarkan jenis kelamin yang berlangsung secara sistematis dalam memperoleh manfaat dari kesejahteraan hidup dan pembangunan.
3. Subordinasi
Posisi sosial yang asimetris dengan adanya pihak yang superior dan inferior. Subordinasi ini merupakan kelanjutan dari pandangan yang stereotype merendahkan. Subordinasi melandasi pola relasi atau pola hubungan sosial yang hirarkis, di mana salah satu pihak memandang dirnya lebih dari mereka yang direndahkan.