Suara.com - Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah ambang batas pencalonan di Pilkada 2024, Nomor 60/PUU-XXI/2024 disebut memiliki andil besar dalam menekan banyaknya calon tunggal, alias calon kepala daerah melawan kotak kosong.
Menurut Pakar politik Universitas Bengkulu Dr Panji Suminar, dari yang diprediksi akan ada melawan kotak kosong di 160 daerah, kini menjadi sekitar 40-an.
"Tapi ini masih saja banyak jumlahnya. Putusan MK Nomor 60 itu berperan krusial menekan banyaknya pilkada kotak kosong terjadi," kata Dr Panji Suminar di Bengkulu, Sabtu (31/8/2024).
Sebelum Putusan MK tersebut diberlakukan, terutama pada Pilkada 2024, fenomena 'borong partai politik' untuk mengusung salah satu bakal calon kepala daerah banyak terjadi.
Sebab, ambang batas partai politik agar dapat mengusung calon kepala daerah harus memenuhi minimal 25 persen suara baik dari satu maupun gabungan beberapa partai.
"Ketika aksi borong partai terjadi, tentu akan sulit sisa partai lainnya memenuhi syarat minimal 25 persen suara tersebut. Oleh karena itu, jika putusan MK itu tidak ada akan banyak sekali terjadi pilkada calon tunggal melawan kotak kosong," katanya.
Lantaran itu, Panji mengatakan sudah seharusnya memperbaiki sistem pencalonan kepala daerah. Hal tersebut disampaikan Panji agar sosok-sosok yang memiliki kapasitas mudah maju dengan tidak dibebankan syarat yang berat untuk berpartisipasi dalam Pilkada.
"Pertama aksi borong partai ini ke depannya sudah seharusnya dapat dicegah. Karena borong partai membuat peluang pilkada kotak kosong semakin besar, demokrasi memburuk, potensi calon yang terpilih menjadi kepala daerah ya hanya mereka yang memiliki 'kemampuan' memborong partai, tapi belum tentu dari sisi kompetensi, kapasitas dan kapabilitasnya," katanya.
Ia juga melihat ada potensi politik uang di pilkada, peluangnya terjadi karena hasrat mendapatkan dukungan partai dalam membangun koalisi besar, maupun mengamankan suara 50 persen plus 1 dari masyarakat.
Sementara itu, dampak buruk lainnya, masyarakat juga akan antipati atau acuh tak acuh karena tidak punya pilihan dalam memilih. Bahkan hal tersebut menurutnya tidak menutup kemungkinan pemilih malah memenangkan kotak kosong.
Kemudian ketika terpilih, fungsi kontrol di legislatif akan semakin melemah, kualitas pemerintahan kepemimpinan kepala daerah yang baru juga tidak terjamin, hal itu semua karena mayoritas partai politik berada dalam satu barisan koalisi yang sama.
"Menjadi tugas pemerintahan dan parlemen periode yang baru untuk memperbaiki regulasi, sistem pemilu, agar menutup celah-celah pilkada calon tunggal melawan kotak kosong terjadi," ujarnya. (Antara)
Baca Juga: Ada Potensi Kotak Kosong, Nasdem Sebut Awalnya Akan Dimunculkan di Pilkada Jabar