Tak Terpikir Picu Turbulensi Dahsyat di Pilkada 2024, Partai Gelora Ungkap Cerita soal Gugatannya di MK

Kamis, 29 Agustus 2024 | 10:18 WIB
Tak Terpikir Picu Turbulensi Dahsyat di Pilkada 2024, Partai Gelora Ungkap Cerita soal Gugatannya di MK
Jajaran elite DPP Partai Gerindra melakukan pertemuan dengan jajaran DPN Partai Gelora di Media Center Partai Gelora, di Kawasan Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (19/8/2023). (Suara.com/Bagaskara)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sekretaris Jenderal Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Mahfuz Sidik mengatakan, jika partainya tidak menduga gugatan yang dilayangkannya ke Mahkamah Konstitusi (MK) bersama Partai Buruh soal ambang batas pencalonan kepala daerah menimbulkan turbulensi politik yang dashyat, mengubah peta Pilkada 2024.

"Ibarat orang naik pesawat lagi tenang-tenangnya mau disajikan makanan, tiba-tiba turbulensi. Pesawat turun dari ketinggian 10.000 kaki ke 4.000 kaki. Anjloknya luar biasa, semua orang dan makanannya terhempas. Kami di Partai Gelora tidak memprediksi ini terjadi," kata Mahfuz dalam keteranganya diterima Suara.com, Kamis (29/8/2024).

Mahfuz mengungkapkan, awal mula muncul ide untuk menggugat ambang batas pencalonan kepala daerah, usai Partai Gelora dinyatakan tidak lolos ke Senayan karena tidak memenuhi threshold parliamentary (PT) 4 persen.

"Usai Pileg dan Pilpres, Partai Gelora waktu itu sudah diputuskan oleh KPU tidak lolos 4 persen. Lalu, kita mikir apalagi yang harus kita kerjain agar segera beralih ke agenda Pilkada. Kita temukan ada klausul dalam pasal 40 ayat 3 UU Pilkada, bahwa yang berhak mencalonkan kepala daerah yang punya kursi. Itu yang kita gugat," ujarnya.

Baca Juga: Anwar Usman Banding Putusan PTUN Jakarta, MK Santai Hadapi Perlawanan Adik Ipar Jokowi

Kemudian pada bulan April, menurutnya, Partai Gelora mengajak diskusi partai poltik yang tidak memenuhi ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 20 persen kursi dan 25 persen suara untuk mengajukan gugatan, karena mereka juga memiliki kursi di DPRD I dan DPRD II.

"Awalnya ada 4 partai yang mau ajukan judicial rewiew, tapi kemudian tinggal Partai Gelora dan Partai Buruh yang mengajukan. Tanggal 21 Mei kemudian kita ajukan gugatannya ke Mahhamah Konstitusi," ungkapnya.

Sekretaris Jenderal Partai Gelora Mahfuz Sidik. (Partai Gelora)
Sekretaris Jenderal Partai Gelora Mahfuz Sidik. (Partai Gelora)

Mahfuz tidak yakin dan pesimis gugatannya bakal dikabulkan, karena hingga bulan Juli, MK terus meminta perbaikan gugatan, sementara masa pendaftaran Pilkada pada bulan Agustus.

"Kita agak ragu-ragu berkaca dari hasil gugatan kita soal Pilpres, tapi kemudian kita diundang tanggal 20 Agustus untuk mendengar putusan. Ternyata, putusan yang kita dapatkan, melampaui apa yang kita minta. Kita mintanya, satu dikasih 10 oleh MK," ujarnya.

Mahfuz menyebut, pihaknya bersyukur sekaligus bingung terhadap putusan MK tersebut. Bersyukur bisa mencalonkan kepala daerah meski tidak punya kursi, sementara bingung karena MK membuat aturan baru di dalam UU Pilkada yang menjadi haknya DPR selaku pembuat Undang Undang (UU).

Baca Juga: Balada Pilkada Jakarta: Anies Gagal Nyagub karena Dicap Tengil hingga Angka Golput Diprediksi Meroket

"Sehingga terjadilah turbulensi. Efek dari turbulensi ini, terjadinya perubahan peta pilkada, dan perubahan itu . itu masih terasa sampai sekarang. Ada orang yang pindah tempat duduk, dari di depan ke belakang atau sebaliknya, bahkan ada yang terhempas," ungkapnya.

Akibat Putusan MK ini, menurut Mahfuz, membuat peta pencalonan kepala daerah menjadi sangat dinamis. Partai Gelora yang pada awalnya hanya mengeluarkan surat rekomendasi B1KWK, SK pencalonan kepala daerah dari 55 rekomendasi menjadi lebih dari 300-an rekomendasi.

Mahfuz berharap pasca putusan MK soal ambang batas pencalonan kepala daerah ini, perlu dilakukan harmonisasi paket Undang-undang Politik dan mengevaluasi sistem ketatanegaraan sekarang.

"Sebab MK telah mengambil wilayah DPR selaku pembuat undang-undang, belum lagi soal sengketa Pilkada dan Pilpres sampai mengurusi hal teknis. Bahkan MK juga tidak konsisten dengan putusannya soal ambang batas pencalonan, di Pilpres kita ditolak dikatakan legal policy-nya DPR, tapi di Pilkada justru diterima dan membuat norma baru yang menjadi haknya DPR," katanya.

Ia menilai, MK justru semakin menciptakan demokrasi menjadi lebih substatif dan prosedural, membuat prilaku pemilih menjadi pragmatis dan permisif, biaya politik makin tinggi dan menyuburkan praktik korupsi. Sehingga bisa merusak, budaya politik dan demokrasi itu sendiri.

"Kita harus evaluasi perjalanan selama 25 tahun ini. Kita harus dudukan lembaga yang ada pada tupoksinya, tidak seperti sekarang carut-marut sampai ada lembaga membajak kewenangan lembaga lain. Semua regulasi harus kita harmonisasi dan konsolidasi," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI