Suara.com - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah ambang batas atau threshold pencalonan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 memiliki konsekuensi logis dalam dunia politik menjelang digelarnya pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada November mendatang.
Bagi pasangan calon yang harapannya hampir pupus untuk maju dalam pilkada, putusan MK seolah menjadi angin kedua untuk bisa berkontestasi politik.
Menurut Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Aditya Perdana keputusan MK tersebut akan memiliki dampak serius. Apalagi di sejumlah daerah telah terbentuk koalisi besar partai-partai politik yang sudah terbentuk sejak lama.
"Putusan MK hari ini secara mengejutkan memiliki dampak yang serius bagi pemetaan koalisi politik yang sedang dipersiapkan oleh partai politik," kata Aditya Perdana seperti dikutip Antara, Selasa (20/8/2024).
Baca Juga: KPU Akan Revisi PKPU Usai 2 Putusan MK Soal Syarat Pencalonan Kepala Daerah
Koalisi besar yang terbentuk selama ini mengacu pada desain aturan, yakni pasangan calon minimal didukung 20 persen suara. Kini dengan adanya putusan MK tersebut berubah menjadi 7,5 persen.
Direktur Eksekutif ALGORITMA Research and Consulting ini juga mengatakan bahwa angin kedua bagi calon kepala daerah yang sudah patah arang sebelumnya bakal menjadi ajang saling berlomba mencari dukungan suara partai.
"Karena ada skema koalisi besar, maka belakangan ini banyak calon yang peluangnya terbatas," ujarnya.
Sejatinya, ia menilai putusan MK tersebut tidak hanya akan berdampak kepada calon seperti Anies Baswedan ataupun PDIP yang ditinggal oleh koalisi besar, tetapi juga akan membuat pergerakan dan dinamika politik yang luas bagi para calon yang belum punya kesempatan dalam bangunan koalisi yang ada.
Kejutan Positif
Baca Juga: Elite PDIP Gerak Cepat Usai Putusan MK, Umumkan Anies Bacagub DKI Akhir Pekan Ini?
Sementara itu, Pakar Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran, Jakarta Ardli Johan Kusuma mengatakan bahwa putusan MK sebagai kejutan yang positif.
"Putusan MK terkait ambang batas perolehan suara partai sebagai syarat pencalonan kepala daerah ini merupakan suatu kejutan yang membawa dampak positif bagi proses demokrasi kita," katanya kepada Antara.
Positif yang dimaksud Ardli, yakni membuka semua orang untuk lebih banyak lagi mencalonkan diri menjadi kepala daerah, meski hanya tinggal menghitung hari.
"Karena partai politik yang sebelumnya diharuskan memenuhi minimal 25 persen suara baik dari satu maupun gabungan beberapa partai kini diturunkan hanya menjadi 7,5 persen untuk daerah dengan Daftar Pemilih Tetap 6-12 Juta jiwa, dan minimal suara 6,5 persen suara untuk daerah dengan jumlah DPT lebih dari 12 juta jiwa," ujarnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah ambang batas (thresshold) pencalonan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.
Lewat putusan ini, MK menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon.
Penghitungan syarat untuk mengusulkan pasangan calon melalui partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah dalam pemilu di daerah yang bersangkutan.
“Amar putusan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan untuk perkara yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora itu di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Selasa.
Dalam perkara ini, Partai Buruh diwakili Said Iqbal selaku Presiden dan Ferri Nurzali selaku Sekretaris Jenderal. Sementara itu, Partai Gelora diwakili Muhammad Anis Matta selaku Ketua Umum dan Mahfuz Sidik selaku Sekretaris Jenderal.
Pada perkara ini, Partai Buruh dan Partai Gelora mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).
Bertentangan dengan UUD
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan bahwa Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
“Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menghendaki pemilihan kepala daerah yang demokratis tersebut salah satunya dengan membuka peluang kepada semua partai politik peserta pemilu yang memiliki suara sah dalam pemilu untuk mengajukan bakal calon kepala daerah agar masyarakat dapat memperoleh ketersediaan beragam bakal calon, sehingga dapat meminimalkan munculnya hanya calon tunggal, yang jika dibiarkan berlakunya norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 secara terus menerus dapat mengancam proses demokrasi yang sehat,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih membacakan pertimbangan hukum.
Karena keberadaan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada merupakan tindak lanjut dari Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada, maka MK menyatakan harus juga menilai konstitusionalitas yang utuh terhadap Pasal 40 ayat (1) tersebut.
MK mempertimbangkan, pengaturan ambang batas perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusulkan pasangan calon kepala daerah tidak rasional jika syarat pengusulannya lebih besar dari pada pengusulan pasangan calon melalui jalur perseorangan.
“Oleh karena itu, syarat persentase partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mengusulkan pasangan calon harus pula diselaraskan dengan syarat persentase dukungan calon perseorangan. Sebab, mempertahankan persentase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 Ayat (1) UU 10/2016 sama artinya dengan memberlakukan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi bagi semua partai politik peserta pemilu,” kata Enny.
Dengan demikian, MK memutuskan, Pasal 40 Ayat (1) UU Pilkada harus pula dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana yang telah dijabarkan di atas.