Suara.com - Munculnya nama-nama petahana hingga nama-nama lama jelang kontestasi politik, pemilihan kepala daerah (pilkada) menjadikan masyarakat tidak memiliki pilihan alternatif calon yang mumpuni.
Persoalan tersebut digarisbawahi Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono dalam menganalisis kondisi politik jelang Pilkada serentak 2024.
Ia mengemukakan, munculnya nama-nama lama atau petahana menunjukan parpol tidak memberi ruang terbuka luas bagi calon alternatif yang memiliki kapasitas untuk berkontestasi.
"Saat ini, nampaknya, parpol-parpol terjebak dengan popularitas petahana maupun Pj Kepala Daerah sehingga sulit memunculkan calon alternatif," katanya kepada Suara.com.
Baca Juga: Dari KIM Sampai KIM Plus di Pilkada Jakarta, PKS Bakal Gabung ?
Arfianto bahkan menyebut tidak menutup kemungkinan bila nantinya petahana maupun pj kepala daerah akan melawan kotak kosong atau hanya menjadi calon tunggal.
"Apabila parpol-parpol yang menggabungkan diri dalam koalisi besar hanya akan mencalonkan para petahana maupun pj kepala daerah dikhawatirkan hanya akan memunculkan calon tunggal."
Ia mengemukakan, masyarakat yang saat ini dihadapkan pada minimnya alternatif calon pemimpin untuk dipilih, akan dirugian karena tidak bisa mendapat pemimpin yang terbaik.
“Tidak adanya calon-calon alternatif yang didukung oleh parpol menjadi persoalan serius dari kelembagaan internal parpol, terutama yang terkait dengan masalah rekrutmen politik," ujarnya.
Masih menurut Arfianto, masyarakat saat ini malah dipertontonkan politik yang 'tidak sehat' karena hanya didominasi kelompok elite. Bahkan, rekruitmen politik yang ditonjolkan hanya berdasarkan popularitas dan kemampuan finansial calon.
Baca Juga: Mardiono Minta Kader PPP di Jatim Kembali Berjuang di Momen Pilkada
"Saat ini, rekrutmen partai politik tidak berdasarkan pada sistem merit dan cenderung didominasi oleh beberapa elite. Selain itu, rekrutmen politik juga sangat determinan pada faktor popularitas dan kemampuan finansial calon,” ungkapnya.
Apalagi, permasalahan finansial ini terjadi karena tingginya biaya politik dalam kontestasi politik di Indonesia.
Sementara di sisi lain, pendanaan partai juga masih diliputi persoalan.
Parahnya, partai politik hanya mengandalkan pendanaan yang bersumber dari bantuan keuangan negara (APBN/ APBD) dan sumbangan dari anggota partai yang berada di parlemen dan menjadi pejabat publik. Pun itu belum diikuti dengan transparansi pengelolaan keuangan partai politik.
Salah satu solusi yang harus dibenahi partai politik saat ini, yakni sistem rekrutmen politiknya.
Rekrutmen politik, menurutnya, harus mengedepankan sistem meritokrasi, kesetaraan gender, inklusi, dan keterwakilan, ketimbang memenuhi kepentingan kekerabatan atau kelompok atau golongan, serta pertimbangan favoritisme yang selama ini sering diterapkan untuk kepentingan jangka pendek dan pragmatis semata.
Melalui proses yang dilakukan secara terbuka, transparan, dan akuntabel, diharapkan rekrutmen politik dapat benar- benar berjalan secara demokratis dengan dukungan kader yang berintegritas, berkomitmen, dan memiliki kompetensi.