Suara.com - Jalur independen atau perseorangan non-partai politik (parpol) sebenarnya merupakan salah satu upaya yang bisa ditempuh bagi masyarakat yang ingin mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Namun, jalur ini kerap sepi peminat.
Sejauh ini untuk tingkatan provinsi, baru pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana yang sudah menempuhnya hingga tahap verifikasi faktual berkas. Dharma-Kun sempat hampir kandas upayanya karena dokumen pendaftarannya ditolak oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Kemudian, ada lagi dua daerah di Jawa Tengah yang masih memiliki kontestan jalur independen, yakni di Sukoharjo dan Tegal.
Melihat kondisi ini, Pengamat Politik dari Universitas Al-Azhar, Ujang Komaruddin mengatakan jalur independen Pilkada memang kerap sepi peminat karena sejumlah faktor. Pertama, persyaratan untuk mendaftar terlalu berat.
"Karena calon independen itu pertama persyaratannya luar biasa berat kan. Harus mengumpulkan KTP dalam jumlah banyak," ujar Ujang kepada Suara.com, Rabu (17/7/2024).
Pengumpulan KTP ini berbeda-beda tiap daerahnya. Jumlahnya berdasarkan presentase dari total penduduk di wilayah tersebut.
Kemudian, tiap pasangan calon (paslon) jalur independen juga harus membentuk tim dengan biaya sendiri. Berbeda dengan yang diusung parpol karena sudah memiliki mesin politik yang sudah pasti.
"Calon independen ini kan dia berjuang sendirian denagn timnya. Dalam konteks tertentu kekuatan uangnya juga jarang yang punya uang banyak," tuturnya.
Selanjutnya, calon independen biasanya kemungkinan menangnya lebih kecil dibandingkan yang diusung parpol. Apalagi, jika pesaingnya kerap menggunakan politik uang untuk bisa menang.
Baca Juga: Kans Makin Gede Maju Pilkada Jakarta, PDIP Puji Elektabilitas Ahok: Bisa Kalahkan Anies
"Ketiga, saya melihat calon independen itu potensi menangnya itu kecil, rendah. Maka tokoh-tokoh malas untuk maju di calon independen. Mereka lebih banyak membayar, membeli parpol untuk maju melalui parpol. Sehingga mereka tidak maju melalui jalur independen," jelasnya.
Jika sudah melawan politik uang, dana yang dimiliki calon independen biasanya lebih terbatas. Akhirnya masyarakat tak memilihnya karena lebih tergiur dengan uang.
"Ketika calon-calon dari partainya menebar uang maka mereka tidak akan memilih calon independen. Saya melihatnya seperti itu. Jadi aneh memang di kita ya," pungkasnya.