Rekam Jejak Saldi Isra vs Enny Nurbaningsih vs Arief Hidayat: 3 Hakim MK yang Dissenting Opinion

Selasa, 23 April 2024 | 13:52 WIB
Rekam Jejak Saldi Isra vs Enny Nurbaningsih vs Arief Hidayat: 3 Hakim MK yang Dissenting Opinion
Tiga hakim yang menyatakan dissenting opinion, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (22/4/2024). [ANTARA]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan sengketa hasil Pilpres 2024 yang diajukan Anies Baswedan-Cak Imin dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Putusan ini dibacakan di Gedung MK, Jakarta Pusat, pada Senin (22/4/2024).

Meski begitu, ada tiga hakim yang menyatakan dissenting opinion, yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat. Mereka setuju jika pembagian bansos sebagai cawe-cawe presiden.

Mereka menyarankan adanya pemungutan suara ulang di beberapa daerah. Adapun perbedaan pendapat tersebut membuat ketiga hakim itu disorot. Tak terkecuali tentang rekam jejak mereka.

Rekam Jejak Saldi Isra

Baca Juga: Usai Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, Anies Baswedan Diminta Maju Pilgub Jakarta

Saldi Isra saat ini tengah menjabat Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi untuk periode 2023–2028. Adapun kariernya sebagai Hakim Konstitusi dimulai sejak 11 April 2017. Sebelum ini, ia lebih dulu aktif menjadi pengajar.

Ia sempat berkarier sebagai profesor hukum tata negara di Universitas Andalas. Sepanjang karier akademisnya, Saldi Isra menerima penghargaan. Hal ini sehubungan dengan upayanya melawan korupsi di Indonesia.

Pengukuhannya sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas dilakukan pada tahun 2010. Sementara itu, Saldi Isra dilantik menjadi Hakim Konstitusi menggantikan Patrialis Akbar yang terjerat kasus korupsi.

Rekam Jejak Enny Nurbaningsih

Di sisi lain, Enny Nurbaningsih merupakan satu-satunya hakim perempuan di MK. Ia dilantik langsung oleh Presiden Jokowi pada  13 Agustus 2018 lalu. Untuk bisa berada di posisinya saat ini, diketahui tidak mudah.

Baca Juga: Pakar Hukum Tata Negara: Putusan MK Tak Bisa Dibatalkan Ketika Diucapkan

Melansir laman resmi MK, Enny mendaftarkan diri menjadi hakim MK berkat dorongan dari teman-temannya. Sebelumnya, ia lebih dulu menjabat Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).

Enny menyadari, ada perbedaan antara pekerjaannya yang dulu dan sekarang. Saat menjadi Kepala BPHN, ia dituntut untuk berinteraksi. Sementara kini, ia yang aktif sebagai hakim MK interaksinya pun terbatas.

Ia tidak diizinkan berinteraksi dengan orang yang memilki kasus. Oleh karena itu, ruang komunikasi Enny kian sempit. Jadi, untuk menjaga integritasnya, ia bekerja dalam kesepian dan berbicara melalui putusan.

Selain menjadi hakim, Enny Nurbaningsih adalah guru besar Ilmu Hukum di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia juga diketahui sempat mendirikan organisasi di bidang hukum tata negara, yang diberi nama Parliant Watch.

Rekam Jejak Arief Hidayat

Terakhir, ada Arief Hidayat yang merupakan ahli hukum Indonesia. Ia dipercaya menjadi Ketua MK periode 2015-2017 menggantikan Hamdan Zoelva. Sementara kariernya sebagai hakim MK dimulai sejak 4 Maret 2013 silam.

Di mana saat itu, Arief menggantikan Mahfud MD melalui pemilihan di Komisi III DPR. Di sisi lain, ia juga merupakan guru besar Fakultas Hukum Undip. Bidang keahliannya mencakup hukum tata negara, politik, dan lain-lain.

Saat menjabat Ketua MK, Arief juga terpilih menjadi Presiden AACC (Asosiasi MK Se-Asia) selama dua periode. Adapun dalam catatan kariernya di MK, ia merupakan salah satu hakim yang memiliki pengalaman lengkap.

Arief Hidayat pernah menjabat sebagai Hakim MK, Wakil Ketua MK, hingga Ketua MK. Ia bahkan menjadi satu-satunya Ketua MK yang dipilih secara aklamasi dalam Rapat Permusyawaratan Hakim Pemilihan Ketua MK.

Tiga Hakim Nyatakan Dissenting Opinion

Saldi Isra membacakan dissenting opinion bahwa menurutnya terjadi ketidaknetralan pada sebagian Penjabat (Pj) kepala daerah. Hal ini yang kemudian menyebabkan pemilu dua bulan lalu tersebut berlangsung tidak jujur dan adil.

"Saya berkeyakinan telah terjadi ketidaknetralan sebagian Pj kepala daerah termasuk perangkat daerah yang menyebabkan pemilu tidak berlangsung jujur dan adil. Semuanya ini bermuara pada tidak terselenggaranya pemilu yang berintegritas," ucap Saldi.

Saldi menganggap pernyataan tim AMIN terkait politisasi bansos dan mobilisasi aparat memiliki alasan menurut hukum. Untuk itu, ia mengatakan seharusnya MK memerintahkan agar melakukan pemungutan suara ulang.

"Menimbang berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, dalil pemohon sepanjang berkenaaan dengan politisasi bansos dan mobilisasi aparat/aparatur negara/penyelenggara negara adalah beralasan menurut hukum," ujar Saldi.

"Demi menjaga integritas penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil maka seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah," sambungnya.

Sementara itu, Enny Nurbaningsih juga membacakan dissenting opinion. Ia mengatakan pemberian bansos oleh presiden menjelang pemilu berdampak terhadap para peserta pemilihan karena memicu adanya ketidaksetaraan.

"Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, meskipun secara normatif presiden dan wakil presiden memiliki hak dalam kampanye dan tidak ada ketentuan larangan bagi presiden memberikan bansos," kata Enny.

"Namun pemberian bansos menjelang pemilu dan di masa kampanye, maka dalam batas penalaran yang wajar, hal tersebut berdampak pada para peserta pemilihan karena adanya ketidaksetaraan," lanjutnya.

Enny juga menyebut permohonan yang diajukan tim AMIN dan Ganjar-Mahfud beralasan hulum untuk sebagian. Ia menilai ada pejabat yang sebagian terlibat pemberian bansos di beberapa daerah.

"Oleh karena itu, diyakini telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang sebagian berkelindan dengan pemberian bansos yang terjadi pada beberapa daerah yang telah dipertimbangkan di atas," ucap Enny.

"Maka untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang untuk beberapa daerah tersebut," sambungnya.

Arief Hidayat juga membacakan dissenting opinion dengan menyatakan mengabulkan gugatan tersebut untuk sebagian. Ia menilai seharusnya MK menyetujui adanya pemungutan suara ulang di beberapa daerah.

"Menyatakan batal Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota secara nasional dalam Pemilu 2024 tertanggal 20 Maret 2024 yang diumumkan pada Rabu tanggal 20 Maret 2024 sepanjang daerah pemilihan Provinsi DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Sumatera Utara," ujar Arief.

Kontributor : Xandra Junia Indriasti

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI