Suara.com - Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Cyril Raoul Hakim atau akrab disapa Chico Hakim tak sepakat jika peran Mahkamah Konstitusi (MK) dikerdilkan hanya untuk mengadili selisih suara dalam permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
Menurutnya, dengan bergulirnya Permohonan PHPU dari paslon nomor urut 3 dan paslon nomor urut 1 atas hasil Pemilu 2024 yang telah diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), maka semua pihak harus memberi ruang bagi MK tanpa membatasi kewenangan luas lembaga tersebut sesuai konstitusi.
"Jangan mengkerdilkan peran MK. Menurut saya, kalau kita bicara MK hanya menguji tentang perselisihan suara, untuk apa ada hakim-hakim yang begitu hebat yang dipilih dari situ," kata Chico.
Ia menjelaskan, MK memiliki kewenangan yang luas termasuk dalam menangani permohonan PHPU yang tidak hanya sebatas mempersoalkan selisih suara. Pada prinsipnya, kata dia, MK berwenang mengadili apakah proses pemilu diselenggarakan sesuai azas langsung, umum, bebas, dan rahasia, serta jujur dan adil.
Baca Juga: Mahfud MD Mendadak Ralat Salah Satu Ucapannya di Sidang MK, Kenapa?
Selain itu, menurutnya, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan tak bisa dibanding, sehingga dalam memutuskan perkara tentu ada banyak pertimbangan dan dasar hukum yang menjadi patokan, bukan hanya soal sengketa hasil pemilu.
"Makanya semua tergantung dari bagaimana kita memandang dan menempatkan posisi MK. Kalau bagi tim Ganjar-Mahfud, kami memandang MK sebagai The Guardian of democracy dia penjaga demokrasi kita, yang kedua dia adalah penjaga konstitusi kita," ungkapnya.
Baca Juga:
Harvey Moeis Dibui Gegara Korup Rp270 T, Sandra Dewi Pernah Dapat Pesan Ini dari Ahok
Sengketa Pilpres 2024, Otto: Kalau Dia Minta Menteri, Kami Juga Minta Ibu Megawati Dipanggil
Baca Juga: MK Pertimbangkan Usulan Hadirkan Menteri di Sidang Sengketa Pilpres, Tapi...
Respons Tak Terduga Sri Mulyani Akan Dijadikan Saksi Di MK Oleh Kubu AMIN
Berdasarkan pandangan ini, lanjutnya, tim hukum Ganjar-Mahfud menilai bahwa MK berwenang mengadili semua yang terkait dengan pelanggaran konstitusi, termasuk dalam penyelenggaraan Pemilu.
Hal ini pula yang mendasari tim hukum Ganjar-Mahfud mengajukan permohonan PHPU ke MK untuk membuktikan bahwa persoalan Pemilu 2024 bukan hanya soal selisih suara, tapi bahwa ada pelanggatan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang mewarnai proses atau tahapan Pemilu.
"Kita melihat bahwa big picture Pemilu ini kan bukan soal hasil suara saja, selisih angka saja, tapi bagaimana proses ini terjadi. Kita sebut ada TSM, tentunya itu adalah rangkaian dari kejadian-kejadian yang kemudian mempengaruhi hasil pemilu," tuturnya.
Ia sangat menyayangkan munculnya opini yang mengkerdilkan atau membatasi kewenangan MK dalam mengadili permohonan PHPU, seolah-olah tidak boleh keluar dari persoalan hasil pemilu yang telah ditetapkan KPU.
Bahkan upaya hukum yang ditempuh paslon 03 dengan mengajukan permohonan PHPU ke MK pun dianggap sebagai cara dari pihak-pihak yang tidak menerima kekalahan.
Tak hanya itu, Ganjar-Mahfud juga disebut tak layak mengajukan permohonan PHPU ke MK karena memiliki selisih suara lebih dari 40% dengan paslon nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
"Kami mengajukan permohonan PHPU ke MK karena meyadari ada masalah dalam pemilu yang tidak bisa didiamkan. Makanya kami membawa persoalan ini ke MK karena ada hakim-hakim yang punya pengetahuan hukum yang luas, mereka mampu melakukan tafsir-tafsir terhadap undang-undang, yang mungkin tidak mampu kita lakukan," ujarnya.
Ia pun membeberkan, secara prinsip dugaan pelanggaran TSM dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 yang digugat Ganjar-Mahfud ke MK terkait dengan beberapa persoalan.
"Bicara soal terstruktur, sistematis dan masif, yang kita bawa ke MK kata-kata kunci untuk gugatannya ada nepotisme, abuse of power, dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan penyelenggara pemilu mulai pendaftaran calon presiden, hingga proses rekapitulasi," katanya.
Abuse of Power
Terkait dengan abuse of power, lanjutnya, tim hukum Ganjar-Mahfud melihatnya dalam bentuk kebijakan yang dilakukan dengan cara mempolitisasi bantuan sosial (bansos) yang terlihat dari empat aspek.
Pertama, dari aspek waktu soal Bansos Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan percepatan pencairan dana bantuan sosial sehingga bertepatan dengan proses Pilpres 2024.
Kedua, dari aspek jumlah bansos, Presiden Jokowi menaikkan dana perlindungan sosial untuk bantuan sosial secara masif hingga mencapai 496,8 triliun hanya beda tipis dengan anggaran yang digelontorkan ketika puncak-puncaknya Covid-19.
Ketiga, dari aspek penerima bansos, dilakukan dengan sasaran utama wilayah tempat elektabilitas paslon nomor urut 2 masih tertinggal, seperti di beberapa tempat di Jawa tengah dan Jawa Timur.
"Nah ini akan kita buktikan jadi apa yang disampaikan, di mana aja, akan kami ungkap di MK," kata Chico.
Keempat, dari aspek pembagi, Presiden Jokowi memastikan mayoritas pembagian bansos dilakukan oleh dirinya sendiri maupun aparatur negara yang menjadi bagian dari koalisi pendukung Pasangan Calon Nomor Urut 2 dengan tidak melibatkan Menteri Sosial.
"Satu lagi terkait dengan Bansos abuse of power ada pengerahan aparat, penggunaan aparat Polri melalui tekanan kepada aparat-aparat Desa juga terkait dengan pengaduan masyarakat kepada orang-orang yang kritis terhadap penyelenggaraan pemilu dan terhadap kecurangan-curangan Pemilu ini," ungkap Chico.
Ia menambahkan, ketika bicara soal demokrasi dalam penyelenggaraan pemilu, maja apa yang dilakukan Ganjar-Mahfud tidak semerta-merta hanya bicara soal hasil, tapi jauh melebihi itu.
"Kita berjuang untuk demokrasi kita ke depan, karena kita menginginkan negeri ini berjalan sesuai koridor demokrasi yang sudah kita pilih melalui reformasi," katanya.
Ia menambahkan, Ganjar-Mahfud tidak mempersoalkan siapa yang menang dan kalah, namun menggugat masalah penyelenggaraan pemilu yang sarat pelanggaran TSM untuk mengembalikan demokrasi yang jujur dan adil bagi siapapun di seluruh wilayah NKRI.