Suara.com - Pesta demokrasi telah usai digelar, banyak caleg bergembira karena tahu berpeluang lolos jadi wakil rakyat. Tapi tak sedikit yang terguncang mentalnya dan stres, bahkan ada yang sampai bolak-balik naik kereta Bogor-Jakarta tanpa alasan jelas.
Disitat dari BBC Indonesia, Minggu (17/3/2024), pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Devi Darmawan, mengatakan guncangan mental yang dialami para caleg gagal tersebut tak bisa sepenuhnya disalahkan kepada mereka dengan anggapan tak bisa menerima kekalahan.
Sebab di balik situasi itu, menurut Devi, ada kontribusi partai politik yang disebut tidak serius menyokong kadernya bertarung di tengah mahalnya ongkos demokrasi.
Bagaimana sebetulnya persiapan yang dilakukan parpol ketika menyodorkan calegnya di pemilu legislatif (Pileg) 2024?
Baca Juga: Dede Sunandar Ubah Dandanan Pakai Jas Rapi Seperti Mau Dilantik, Abdel: Kayak Caleg Stres
'Bolak-balik naik kereta Bogor-Jakarta'
Icuk Pramana Putra, Wakil Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kota Depok, Jawa Barat, bercerita setidaknya ada lima caleg gagal dari partainya yang terguncang secara mental gara-gara kalah di Pemilu 2024.
Kelimanya bisa dibilang caleg baru yang sedianya bertarung memperebutkan kursi di DPRD Kota Depok.
Tapi dari lima orang itu, kata Icuk, ada satu caleg yang menurutnya cukup menjadi perhatian karena berperilaku tak lazim.
"Dia naik kereta dari stasiun Bogor ke Kota, Jakarta... bolak-balik terus duduk di Taman Topi lama berjam-jam sampai malam," ungkap Icuk kepada BBC News Indonesia.
Baca Juga: Cerita Suhartono Obati Caleg Stres: Kalah di Pemilu, Uang Habis Ditinggal Anak-Istri
"Buat saya, yang dia lakukan enggak lazim. Karena caleg ini biasanya enggak pernah naik kereta, rata-rata kami bawa mobil atau motor."
Icuk tak mau menyebutkan nama caleg tersebut karena alasan privasi.
Usia si caleg, kata dia, kira-kira 40 tahun. Yang bersangkutan belum ada pengalaman di dunia politik dan tidak punya latar belakang politik.
PSI, katanya, menerima caleg tersebut karena secara personal dianggap mumpuni serta punya kesamaan pemikiran soal anti-korupsi dan toleransi.
"Juga karena kemampuan finansialnya baik. Jadi kami harap dia bisa menduduki kursi di DPRD Kota Depok."
Di pemilu tahun ini, si caleg disebut mengeluarkan modal mencapai ratusan juta rupiah. Uang itu dipakai untuk menebar spanduk atau baliho dirinya serta berjumpa calon konstituen.
Agar kesempatan menangnya semakin besar, ujar Icuk, PSI memberikan 'nomor cantik' kepadanya di kertas surat suara. Nomor cantik yang dimaksud yakni urutan pertama – yang biasanya diperuntukkan bagi pengurus partai.
"Kami kasih ke beliau tempat khusus, karena potensinya cukup besar mengangkat suara PSI."
Untuk lolos ke DPRD Kota Depok, si caleg setidaknya harus mengantongi 7.000 suara. Pada hari pemilihan, perolehan suaranya jauh dari harapan, kata Icuk.
"Ya hasilnya tidak sesuai target si caleg. Suaranya justru salah satu yang terendah dibanding caleg-caleg di nomor yang sama."
Kejadian si caleg bolak-balik naik kereta Bogor-Jakarta terjadi dua hari setelah pencoblosan. Dari cerita tim sukses kepadanya, keluarga sang caleg sampai harus menjemput karena dia enggan pulang.
Beberapa hari setelahnya Icuk ditelepon si caleg yang isinya: "Minta tolong, masih bisa enggak dimenangin?"
Icuk menjawab: "Saya bilang 'nanti kami coba, kami tanyakan apa masih ada kesempatan dan hitung dulu jumlah kursinya'. Intinya dia masih berharap."
'10 Hari Saya Tidak Di Rumah'
Sementara itu, di Dapil Pamekasan V, Jawa Timur, Suwasik, yang merupakan seorang anggota caleg dari Partai Garuda, harus menelan kekalahan untuk kedua kalinya.
Meskipun kekecewaan yang ia rasakan tak sebesar dulu, tapi pikirannya sempat berantakan setelah tahu perolehan suaranya tak cukup besar untuk mengantarkannya ke DPRD Kabupaten Pamekasan.
Dia bercerita, selama 10 hari setelah pencoblosan lebih sering berada di luar rumah.
"Saya kalau jam 4 sore sampai 9 malam tidak di rumah," kata Suwasik.
"Saya butuh apa ya... refreshing... butuh tempat yang nyaman ketika saya tidak nyaman di rumah... jadi saya sering di luar."
"Kadang ngopi dengan teman-teman... supaya bisa mem-balance-kan pikiran saya lagi."
Suwasik bercerita hal yang paling membebani pikirannya adalah bagaimana memperbaiki keuangan keluarga setelah mengeluarkan uang untuk modal kampanye.
Pria paruh baya ini tak mau terus terang menyebutkan angka pasti. Yang jelas, menurutnya, di bawah ongkos kampanye pertamanya yang mencapai Rp 300 juta.
Angka itu menurutnya kurang maksimal untuk mendulang suara lantaran caleg lain, klaimnya, menggelontorkan uang lebih besar untuk "serangan fajar" atau bagi-bagi duit ke warga pada hari pemilihan.
Suwasik mengaku bahwa perasaan bakal kalah sebetulnya sudah muncul kala Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.
"Karena sistemnya proporsional terbuka, jadi ini perang finansial... bukan perang figur atau kemampuan individu caleg. Kalau modal kita minim ya tidak bisa paksakan diri."
Itu mengapa Suwasik tidak terlalu berharap bisa menang. Dia bahkan tak lagi mengawal perolehan suaranya di tingkat kecamatan.
Kendati sudah dua kali tumbang, ia berkata belum kapok. Masih tersimpan secuil ambisi untuk melenggang ke DPRD Kabupaten Pamekasan dengan menjadikan kekalahan berulang ini sebagai pengalaman.
"Masak saya akan jadi penonton terus," ucapnya.