Suara.com - Politisi Partai Demokrat, Jansen Sitindaon menyebut, Pileg 2024 menjadi pemilihan yang paling barbar ketimbang sebelumnya. Bahkan, ia meyakini mayoritas caleg terpilih itu berkat adanya praktik politik uang.
Hal tersebut disampaikannya selaku politisi yang juga ikut menjadi caleg di Pileg 2024 untuk DPR RI Dapil III Sumut.
Baca Juga:
Hotman Paris Kawal Kasus Anak di Bawah Umur Lampung Digilir 10 Orang, Fakta Mengejutkan Terungkap
Baca Juga: Joe Biden Ucapkan Selamat ke Prabowo Ungguli via Surat Resmi, Ini Isinya
Ucapkan Selamat Menjalankan Ibadah Puasa, Gibran Banjir Panggilan 'Mas Wapres'
Sayangnya, Jansen gagal lolos ke Senayan setelah berhasil meraup 12.461 suara.
"Sebagai peserta yang ada dilapangan ikut pemilu, harus saya katakan, mungkin 99 persen caleg terpilih di pemilu kali ini karena politik uang atau varian sejenisnya," kata Jansen melalui akun X pribadinya @jansen_jsp dikutip Jumat (15/3/2024).
Ia meyakini praktik politik uang menjadi sebuah kewajiban bagi para caleg demi lolos menjadi wakil rakyat.
Praktik tersebut dikatakan Jansen terjadi seluruh tingkatan, mulai dari kabupaten/kota hingga nasional.
Baca Juga: Erina Gudono Dilirik Maju Pilkada, Demokrat Bicara Soal Hak Politik: Jangan Dibatasi
"Mungkin 1 persen saja yang murni terpilih tidak melakukan itu. Namun yang sudah membagi uang tidak terpilih jumlahnya lebih banyak lagi," terangnya.
Meski banyak pihak yang menentang adanya politik uang dalam pemilu, namun Jansen melihat masyarakat pun menikmati praktik tersebut.
Sehingga, bukannya sibuk dengan mengkampanyekan visi dan misi, para caleg justru harus mengumpulkan uang banyak agar bisa meraup banyak suara.
"Semua caleg terpaksa nebar uang atau sejenisnya ke rakyat. Tanpa itu tidak ada jaminan dia dipilih. Rakyat juga menyambut dengan hangat. Bahkan inilah yang diharapkan datang. Pileg akhirnya jadi ajang banyak-banyakan mendata orang dan nebar uang," terangnya.
Melihat Pileg 2024 berjalan lebih barbar, Jansen akhirnya menyadari, memperjuangkan sistem pemilu proporsional terbuka di MK beberapa waktu lalu ternyata berakhir keliru.
Sebabnya, pelaksanaan pemilu terbuka dilakukan seraya dengan adanya peningkatan dalam penindakan politik uang.
Kalau tidak seimbang, maka yang terjadi adalah hanya politik transaksional.
"Dengan ini saya mengubah pandangan dan posisi saya atas itu. Karena melihat realitas dan praktek di pemilu kali ini, ternyata saya telah salah berjuang mempertahankan sistem ini," tuturnya.