Suara.com - Calon presiden atau capres nomor urut 2, Prabowo Subianto sempat mengeluhkan sistem demokrasi di Indonesia begitu melelahkan dan menelan biaya yang tidak sedikit.
Kalau pemilu dengan proporsional terbuka dianggap melelahkan hingga memakan biaya banyak, bagaimana dengan pelaksanaan pemilu proporsional tertutup?
Baca Juga:
Diungkap Mahfud MD, Begini Respon Ganjar Usai Dilaporkan ke KPK
Baca Juga: Prabowo-Gibran Unggul di Banten, Saksi Ganjar dan Anies Tolak Tanda Tangan Hasil Pleno
Erina Gudono Ramaikan Bursa Pilkada Sleman, Begini Respons Ganjar-Mahfud
Ucapkan Selamat Menjalankan Ibadah Puasa, Gibran Banjir Panggilan 'Mas Wapres'
Indonesia pernah menerapkan pemilu proporsional tertutup yakni sejak 1955 hingga 1999.
Perbedaan antara proporsional terbuka dan tertutup itu terdapat pada cara memilihnya.
Kalau untuk pemilu proporsional terbuka, pemilih mencoblos wajah masing-masing calon.
Baca Juga: Beredar Video Sorak Sorai 'Anies Presiden' dan 'Gus Imin Wapres', Masih Ngarep?
Namun untuk pemilu proporsional tertutup, pemilih hanya memilih partai politik dan tidak bisa memilih kandidat secara langsung.
Di Pemilu 1999, ada 48 partai politik yang menjadi peserta.
Namun, hanya ada 21 partai yang memperoleh kursi di DPR. Pada momen tersebut, PDIP menjadi pemenang mayoritas suara.
Kemudian ada Partai Golkar, PPP, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan PAN di posisi lima besar.
Kemudian, presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR RI.
Kala itu, hasil Sidang Umum MPR, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri terpilih menjadi presiden dan wakil presiden.
Pemilu proporsional tertutup tersebut sempat kembali disinggung oleh Wakil Presiden ke-10 dan 12 RI, Jusuf Kalla atau JK usai menilai Pemilu 2024 menjadi yang paling terburuk sepanjang sejarah.
Hal itu disampaikan JK dalam forum Election Talk #4 Konsolidasi Untuk Demokrasi Pasca Pemilu 2024: Oposisi Atau Koalisi di FISIP Universitas Indonesia (UI), Kamis (7/3/2024).
Awalnya, JK mengatakan, masyarakat Indonesia baru saja melewati masa Pemilu 2024. Ia menyinggung banyak pihak yang mengkritik penyelenggaraan Pemilu 2024.
"Sekarang kita baru saja melewati suatu cara pemerintahan demokratis dengan pemilu ini, yang bagi kita, banyak pihak yang menilai ya ini perlu dikoreksi, perlu dievaluasi," kata JK di lokasi.
Kemudian, JK berpandangan bahwa Pemilu 2024 adalah pemilu terburuk yang pernah terjadi di Indonesia.
"Bagi saya, saya pernah mengatakan ini adalah Pemilu yang terburuk dalam sejarah Pemilu Indonesia sejak 55'," ujar JK.
Menurut JK, Pemilu 2024 hanya digerakkan oleh segelintir orang yang memiliki banyak uang, termasuk orang-orang yang berada di pemerintahan.
"Artinya adalah demokrasi pemilu yang kemudian diatur oleh minoritas, artinya orang yang mampu, orang pemerintahan, orang-orang yang punya uang," tutur JK.
JK merasa khawatir jika sistem pemilu seperti Pemilu 2024 diteruskan, maka Indonesia akan kembali dipimpin oleh seseorang yang otoriter.
"Masalahnya apabila sistem ini menjadi suatu kebiasaan, maka kita akan kembali ke zaman otoriter. Itu saja masalahnya sebenarnya," ungkapnya.
Diakui Pemilu Paling Jujur
Cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin pernah menyampaikan Pemilu 1999 sebagai pemilu yang paling berjalan jujur, adil dan demokratis.
Hal itu disampaikan Cak Imin dalam acara launcing Lembaga Saksi Pemenangan Nasional di Kantor DPP PKB, Jakarta Pusat, Senin (21/11/2022).
"Berapa kali kita melaksanakan pemilu? 6 kali kita melaksanakan pemilu, dalam kacamata saya, satu-satunya yang paling terbuka, jujur, bebas, dan adil adalah Pemilu tahun 1999. Kenapa demikian, karena seluruh komponen masyarakat terorganisir di dalam pengawasan pelaksanaan pemilu," kata Cak Imin.
Menurutnya, pada Pemilu 1999 rakyat sangat antusias di dalam mendorong, memimpikan sebuah pemerintahan baru.
Ia menilai kala itu partisipasi politik begitu tinggi, keterlibatan lembaga-lembaga pengawas pemilu baik inisiatif warga, organisasi, lembaga, bahkan keterlibatan lembaga-lembaga dunia.
"Pemilu-pemilu berikutnya kita mengalami masa penurunan partisipasi, masa prgamatisme oleh pemilu, masa apatisme pemilih, masa di mana politik uang kian mendominasi di dalam pelaksanaan pemilu," ujarnya.