Suara.com - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo menilai tenggat waktu 14 hari yang dimiliki MK untuk memutus sengketa pilpres terlalu singkat.
Meski begitu, Suhartoyo berjanji akan melakukan yang terbaik dalam waktu yang dinilai tak ideal itu.
Berdasarkan Pasal 475 UU Pemilu, tenggat waktu bagi MK memutus sengketa pilpres paling lambat 14 hari, sengketa pileg maksimum 30 hari, dan sengketa pilkada maksimum 45 hari.
"Dalam batas penalaran yang wajar, bisa enggak MK secara komprehensif menangani itu? Dengan berbagai, katanya, kompleksitas kecurangan atau anggapan-anggapan ada kecurangan, bisa enggak dengan waktu 14 hari kira-kira paling nggak 2 perkara (sengketa diputus)?" kata Suhartoyo di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, Rabu (6/4/2024) malam.
"Kami tetap akan optimistis sepanjang yang secara maksimal bisa kami lakukan. Di luar itu kan kadang-kadang itu instrumen yang di luar kemampuan kami," tambah dia.
Suhartoyo menjelaskan pada pengalaman sengketa pilpres sebelumnya, ada banyak sekali permintaan untuk menghadirkan saksi. Para pemohon juga bisa menyampaikan puluhan hingga ratusan dalil kecurangan.
"Kita bisanya hanya mendengar 15 saksi kan. Iya kan? Yang 2019 coba ingat. Nah sekarang (misalnya) ada seribu dalil, saksinya harus seribu, kapan kita mau periksa seribu saksi itu?" ucap dia.
Terlebih, lanjut dia, setiap dalil harus dibuktikan di persidangan sementara pembuktian bisa berasal dari banyak alat bukti, baik surat, keterangan saksi, dan ahli.
Di sisi lain, Suhartoyo menyebut dimensi penyelenggaraan pilpres sangat luas dan kompleks. Hal tersebut tidak terjadi pada sengketa pileg yang dianggap lebih terbatas di daerah pemilihan (dapil) tertentu. Kompleksitas sengketa pileg juga tak jauh berbeda dengan sengketa pilkada yang hanya mencakup provinsi dan kabupaten/kota tertentu.
"Apa kita mau mendengar 100 saksi, kapan waktunya, 14 hari? Apalagi dua perkara misalnya, bagi dua saja 7 hari kerja dan 7 hari kerja (masing-masing harus sudah putus)," ujar Suhartoyo.
Untuk itu dia berharap jika ada kekurangan yang timbul karena minimnya waktu yang tersedia bagi Mahkamah bisa dimaklumi.
"Memang ada hal-hal di luar kemampuan MK," tandas Suhartoyo.