Suara.com - Pemerintah dan DPR didesak untuk mengakomodasi peutusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas parlemen atau parliamentary threshold yang diputuskan beberapa waktu lalu.
Pernyataan tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin merespons putusan MK yang meminta pembuat undang-undang untuk mengubah ambang batas parlemen.
"Suka tidak suka, senang tidak senang, DPR nanti termasuk dengan pemerintah membahas revisi undang-undang tersebut, mengakomodasi putusan MK tersebut. Bukan hanya mengakomodasi, mengeksekusi," ucapnya, Senin (4/3/2024).
Ujang menilai, ambang batas parlemen lebih baik dihapuskan atau nol persen. Meski begitu, ia berharap ada rumusan ambang batas parlemen yang lebih baik, seperti dalam pertimbangan MK.
Baca Juga: PKB Usulkan Ambang Batas Parlemen Dinaikkan Jadi 7 Persen, Begini Penjelasannya
"Tapi memang dengan nanti variasi-variasi format, ketentuan, disesuaikan dengan tata tertib di DPR, Undang-Undang MD3 (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD)," ucapnya.
Ia juga menuturkan, putusan MK harus dihormati, terlepas dari adanya pro-kontra yang terjadi.
Lebih lanjut, ia menekankan, revisi ambang batas parlemen pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah harus ada sebelum Pemilu 2029.
"Tinggal nanti bagaimana anggota DPR yang baru hasil pemilu yang saat ini, bisa merevisi Undang-Undang Pemilu sebelum Pemilu 2029 agar keputusan MK itu bisa dieksekusi," tuturnya.
Sebelumnya, MK telah mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu yang diajukan oleh Perludem. Dalam amar putusannya, MK menyatakan pasal tersebut konstitusional untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya, sepanjang telah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas parlemen serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen.
Baca Juga: Dukung Ambang Batas Parlemen dan Presiden Dihapus, Fahri Hamzah: Bikin Rakyat Berjarak
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen, termasuk metode dan argumen yang digunakan dalam menentukan ambang batas parlemen empat persen.
Mahkamah menyebut penentuan besaran angka atau persentase ambang batas yang tidak rasional itu telah menimbulkan disproporsionalitas antara suara pemilih dengan jumlah partai politik di DPR, sehingga melanggar hak konstitusional pemilih. (Antara)