Suara.com - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan uji materi ketentuan ambang batas parlemen empat persen suara sah nasional yang diatur dalam UU Pemilu.
Dalam pertimbangannya hukum yang dibacakan Wakil Ketua MK Saldi Isra, MK tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit empat persen dimaksud dalam pasal tersebut.
Merespons adanya putusan tersebut, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR menyebut masih mengkaji angka batas parlemen yang ideal untuk diterapkan di Pemilu 2029.
"PKB masih terus mengkaji soal ini karena banyak faktor yang harus dipertimbangkan," kata legislator PKB Yanuar Prihatin dilansir Antara, Minggu (3/3/2024).
Ia mengatakan bahwa pihaknya sedang mempertimbangkan aspek derajat proporsionalitas. Sebab, ia menilai hal itu dilakukan agar tidak mengarah pada multipartai ekstrem.
Baca Juga: Ambang Batas 4 Persen DPR Dihapuskan, Cak Imin Merasa Lebih Ruwet Dan Liar
"Aspek lain yang harus dipertimbangkan adalah derajat proporsionalitas antara hak suara yang sah dengan derajat keterwakilan di parlemen," ujarnya.
Yanuar juga mengatakan bahwa pihaknya mempertimbangkan aspek kedaulatan rakyat, agar suara rakyat nantinya tidak terbuang.
"Iya betul, salah satu ciri bahwa pemilu itu menegakkan kedaulatan rakyat adalah semakin sedikitnya suara yang terbuang."
"Secara matematis tentu harus dihitung dulu supaya bisa ketemu angka toleransi yang membuat jarak antara suara terbuang dengan kursi parpol lebih proporsional," katanya.
Yanuar menjelaskan semakin sedikit suara yang terbuang, maka semakin demokratis pelaksanaan dari pemilu itu.
Baca Juga: MK Putuskan Ambang Batas Parlemen 4 Persen Harus Diubah, Cak Imin: Memang Harus Begitu
"Dan di sini salah satu kunci penting penegakan kedaulatan rakyat. Suara rakyat ada representasinya di parlemen, tidak terbuang," kata Yanuar.
Sebelumnya, Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute (TII) Arfianto Purbolaksono menepis bahwa putusan MK dapat menimbulkan sistem multipartai yang ekstrem di parlemen, Anto memastikan bahwa hal itu tidak akan terjadi.
"Bagi saya ini bukan multipartai yang ekstrem. Kalau multipartai yang ekstrem itu kan memang bayangannya adalah terbagi dalam berbagai ideologi, ideologi partai politik, seperti (pemilu) tahun 1955 misalkan," ujarnya.
Diungkapkannya, selama ini sistem perpolitikan parlemen di Indonesia selalu terganjal dengan peraturan ambang batas, hingga akhirnya banyak suara pemilih yang terbuang karena partai caleg yang dipilihnya tidak memenuhi parliamentary threshold.
"Adanya keputusan MK ini diharapkan ke depan menjadi representasi suara pemilih atau suara rakyat yang mana bisa menghasilkan parlemen yang cukup dapat meningkatkan kinerja fungsi-fungsi legislatif,"
Fungsi legislatif di parlemen, sendiri tersebut yakni kembali kepada fungsi-fungsi pengawasan, pembuatan undang-undang, serta menjaring aspirasi masyarakat.
Kondisi itu yang kemudian tidak ditemui dalam parlemen, yang kekinian cenderung bersetia kepada fraksi atau parpol.
"Bukan yang hanya seperti adanya saat ini, hanya menjalankan perintah ketua partai politik atau fraksi, terus juga hanya untuk ‘menjadi stempel’ dari undang-undang yang diajukan pemerintah, tapi diharapkan kinerja dari parlemen ke depan dengan adanya hal ini bisa lebih baik," ujarnya.