"Yang dipermasalahkan dalam hak angket adalah apakah presiden dalam menjalankan Undang-Undang itu berkaitan dengan Pemilu dan dengan kewenangan itu. Kemudian berimbas pada salah satu kandidat atau tidak, menguntungkan kandidat atau tidak, merugikan kandidat yang lain atau tidak," tutur Dedi.
Dedi lalu mengambil contoh kebijakan pembagian bantuan sosial (bansos) menjelang pencoblosan Pemilu 2024. Baginya, kebijakan pembagian bansos bisa dijadikan salah satu materi untuk DPR dalam penggunaan hak angket kecurangan Pemilu.
"Kalau ternyata DPR tidak menyetujui (pembagian bansos), kementerian yang bertanggung jawab tidak dilibatkan itu murni perintah presiden. Kemudian dijalankan karena massa Pemilu sehingga menguntungkan salah satu kandidat. Maka itu salah satu penanda, Presiden Jokowi akan kena persoalan," ucap dia.
Dedi menegaskan, bahwa tujuan utama dari usulan pengguliran hak angket di DPR adalah pemakzulan Jokowi. Alasannya, partai pengusul hak angket, PDIP menjadi pihak yang merasa paling dirugikan dari manuver Jokowi dalam Pemilu 2024.
Terlebih Jokowi merupakan kader PDIP itu sendiri. Dedi menilai usulan hak angket akan sia-sia jika Jokowi gagal dimakzulkan.
"Makanya target terbesar hak angket adalah pemakzulan. Kenapa? Karena satu, yang mewacanankan adalah PDIP mereka adalah kelompok yang paling dirugikan oleh manuver-manuver Jokowi, belum lagi kalau mendapatkan dukungan solid dari Koalisi Perubahan. Karena kalau tidak berorientasi pada pemakzulan maka hak angket itu akan sia-sia," jelas Dedi.
Kendati begitu, Dedi menyampaikan bahwa hasil Pemilu 2024 tidak akan berubah meski hak angket berhasil digulirkan. Ketetapan KPU terkait hasil Pemilu 2024 akan tetap menjadi keputusan yang sah.
"Hasil pemilu tidak akan berubah. Hasil Pemilu itu ada hak angket atau tidak ada hak angket tetap sebagaimana ditetapkan oleh KPU. Hak angket berhasil atau gagal, Pemilu akan berjalan, hasilnya akan tetap legitimate," pungkasnya.
Baca Juga: Menguji Kesolidan Nasdem di Jalur Perubahan, Pengamat: Langkah PDIP Jadi Penentu