Suara.com - Politikus PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Sitorus meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjelaskan soal dugaan perintah ke aparat penyelenggara pemilu untuk menghentikan proses rekapitulasi suara di tingkat kecamatan.
Adapun dugaan penghentian penghitungan ini terjadi di Kecamatan wilayah Kalimantan Utara (Kaltara).
Baca Juga:
Mahfud MD Ngaku 4 Hari Putus Kontak dengan Ganjar Pranowo, Isu Dibuang Menguat
Baca Juga: Update Sirekap KPU 51,28 Persen: PDIP Tembus 8,9 Juta Suara, Golkar Menyusul
Bertemu Prabowo di Bandara Halim Perdanakusuma, Khofifah Dapat Pesan Ini
Reaksi Iwan Fals Lihat Komeng Jadi Anggota Dewan: Negeriku Tambah Lucu Nih
Diduga penghentian rekapitulasi tersebut terindikasi untuk mengakali suara hasil Pemilu, yang berujung pada jatah Ketua DPR periode 2024-2029, dan atau terindikasi untuk meloloskan salah satu parpol tertentu pesanan penguasa ke Parlemen.
“Ada informasi di daerah bahwa KPU Pusat memerintahkan penghentian rekapitulasi suara di tingkat kecamatan. yang mana hal itu tak dikonsultasikan dengan peserta pemilu dan Komisi II DPR,” kata Deddy, dalam keterangan tertulisnya, Minggu (18/2/2024).
Menurutnya, penghentian proses rekapitulasi sah saja dilakukan oleh KPU, namun syaratnya dalam kondisi force majeure, seperti kejadian gempa bumi atau kerusuhan massa.
Baca Juga: Kisah Haru di Pemilu 2024, Pendukung Prabowo Rela Tahan Sakit untuk Bisa Nyoblos Lalu Meninggal
“Kami dapat informasi alasannya penghentian adalah karena sistem Sirekap mengalami kendala di pembacaan data. Padahal Sirekap itu bukan metode penghitungan suara yang resmi dan sah. Rujukan perhitungan suara adalah rekapitulasi berjenjang, atau C1 manual,” jelas Deddy.
Jika penghentian penghitungan beralasan akibat force majeure, lanjut Deddy, seharusnya penghentian proses rekapitulasi hanya dilakukan di daerah terdampak.
“Jadi misalnya gempa bumi atau kerusuhan terjadi di di daerah A, maka penghentian rekapitulasi hanya terjadi di daerah A. Ini kok kami dapat informasi bahwa penghentian terjadi di seluruh Indonesia,” ucapnya.
Oleh sebab itu, kata Deddy, muncul kecurigaan publik dengan dugaan bahwa ada motif tertentu dibalik penghentian itu.
Pertama yakni menyangkut persaingan ketat PDIP dengan Partai Golkar sebagai peraih kursi terbanyak di Pemilu. Kaitannya adalah peraih kursi terbanyak akan mendapat jatah Ketua DPR.
“Kebetulan jumlah suara kedua partai itu berhimpitan. Memang dari jumlah suara, PDI Perjuangan teratas,” kata Deddy.
“Tapi terkait jumlah kursi, itu kaitannya dengan sebaran suara yg menghadilkan kursi. Ada peluang kecil Golkar bisa didorong mendapat jumlah kursi terbanyak. Itu dugaan pertama yang banyak dibahas di bawah,” tambahnya.
Kedua yakni terkait dugaan bahwa ada salah satu parpol yang sebenarnya tidak lolos Parliamentary Threshold, hendak dipaksakan lolos ke parlemen. Partai ini disebut-sebut masih dekat dengan penguasa di Istana.
“Ada kuat kecurigaan upaya tersistematis untuk memenangkan salah satu konstestan pemilu. Ada kabar saya dengar kabar bahwa ada operasi agar suara partai kecil akan diambil untuk dialihkan,” kata Deddy.
Untuk mengatasi kesimpangsiuran dan dugaan tersebut, lanjut Deddy, ia sangat berharap kepada KPU untuk memberi penjelasan yang selengkapnya.
“Kalau dibiarkan, akan banyak yang teriak bahwa kuat kecenderungan KPU sedang melakukan kejahatan kepemiluan kalau dasarnya Sirekap, bukan force majeure yang sebenarnya. Maka kami memohon KPU harus memberikan penjelasan tentang informasi adanya penghentian proses rekapitulasi ini,” pungkas Deddy.