Suara.com - Sutradara Dandhy Dwi Laksono buka-bukaan tentang apa yang melatari dirinya terpicu membuat film dokumenter eksplanatori Dirty Vote. Film berdurasi 1 jam 57 menit itu mengulas tentang serangkaian praktik kecurangan Pemilu 2024 yang merusak tatanan demokrasi di Indonesia dari sudut pandang tiga pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.
Dhandy yang merupakan Co-Founder Watchdoc dan Co-Founder Koperasi Ekspedisi Indonesia Baru itu mengaku sebenarnya merupakan kalangan golputers alias orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu. Hal ini diungkapnya saat diwawancarai Benaya Harobu di akun YouTube Indonesia Baru.
Sebut Film Dirty Vote Sebar Fitnah, JK Tantang TKN Prabowo-Gibran: Tunjukkan, Semua Ada Datanya!
Dikuliti Lewat Film Dirty Vote Garapan Dandhy Laksono, Ketua Bawaslu RI Cemaskan Ini Jelang Nyoblos
"Ide pertama sebenarnya dari kegelisahan kita semua ya melihat berita-berita soal kecurangan Pemilu, kita melihat berita sehari-hari lah soal menteri yang kampanye, menteri yang enggak malu-malu lagi mengatakan bantuan sosial ini dari presiden gitu misalnya. Jadi kok kayaknya kita jadi hancur standar normalnya ya," tutur Dandhy mengawali ceritanya seperti dikutip Suara.com dari akun YouTube Indonesia Baru, Selasa (13/2/2024).

Sebagai generasi yang lahir di era orde baru Soeharto dan mengalami masa reformasi, Dandhy menilai konflik kepentingan dan situasi yang terjadi kekinian merupakan sesuatu hal yang tidak normal. Namun situasi ketidaknormalan yang selalu disajikan setiap hari lama-lama seakan dianggap hal yang biasa alias normal.
"Ada teori katak direbus. Kalau katak dimasukin air panas dia langsung akan menggelinjang akan melompat. Tapi kalau dimulai dari air dingin, dipanasin pelan-pelan, lama-lama dia matang dan nggak sadar kalau dia sudah matang," jelasnya.
"Ini sama dengan gitu, ada kecurangan ini kecurangan itu, aparat nggak netral dan segala macam. Bahkan presiden bikin gestur-gestur yang nggak netral gitu, bahkan ibu negara gitu, mengeluarkan 2 jari dari dalam mobil kepresidenan misalnya. Itu lama-lama kita anggap normal," imbuhnya.
Puncaknya, kata Dandhy, terkait adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dengan mudah mengabulkan permohonan uji materi terkait syarat batas usia capres-cawapres. Putusan tersebut yang menjadi dasar putra sulung Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Gibran Rakabuming Raka bisa mendaftarkan diri sebagai cawapres pendamping capres Prabowo Subianto.
Baca Juga: Bawaslu DKI Ungkap Dugaan Politik Uang Caleg DPR di Tambora Pada Masa Tenang, Siapa Dia?

Padahal, lanjut Dandhy, setidaknya jauh sebelum adanya putusan MK tersebut sudah ada 31 kali pihak dari latar belakang masyarakat, advokat, hingga politikus yang mengajukan permohonan uji materi terkait ambang batas syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Di mana. mereka meminta agar aturan terkait syarat partai politik atau gabungan partai politik yang bisa mencalonkan capres-cawapres mesti memiliki 20 persen kursi di parlemen itu diubah karena menutup kesempatan untuk orang-orang berpartisipasi dalam politik Pilpres.