Suara.com - Film dokumenter berjudul Dirty Vote garapan Dandhy Laksono yang tayang perdana pada Minggu (11/2/2024) langsung menjadi sorotan publik. Dalam film berdurasi nyaris 2 jam itu membongkar dugaan kecurangan di Pemilu 2024 berdasar analisis tiga pakar hukum tata negara.
Munculnya film dokumenter itu mendapatkan reaksi keras dari Guru Besar Hukum Konstitusi Universitas Pakuan Prof Andir Asrun. Menurutnya, isi film Dirty Vote justru merugikan masyarakat dalam menentukan calon pemimpinnya. Apalagi penayangan film dokumenter itu digelar saat memasuki masa tenang kampanye.
Andir Asrun justru menyarankan agar pihak-pihak yang menemukan pelanggaran dalam pemilu tahun bisa melaporkannya ke Bawaslu atau pihak kepolisian.
Dikuliti Lewat Film Dirty Vote Garapan Dandhy Laksono, Ketua Bawaslu RI Cemaskan Ini Jelang Nyoblos
"Film ini sangat merugikan rakyat di masa tenang untuk menentukan pilihan Paslon Capres-Cawapres dan caleg-caleg. Seandainya pembuat Film 'Dirty Vote' memiliki data dan bukti pelanggaran pelaksanaan Pemilu 2024, maka seharusnya mengajukan pengaduan ke Bawaslu RI, atau membuat laporan pidana ke kepolisian," ujarnya, Senin (12/2/2024).
Dia juga menganggap narasi-narasi atas pemaparan ketiga pakar dalam film Dirty Vote itu justru sangat berbahaya dan irasional karena menebar fitnah kepada Presiden Jokowi. Bahkan, dia menganggap jika isi film itu bisa mempengaruhi pilihan masyarakat saat menggunakan hak politiknya di Pilpres 2024.
"Fitnah terhadap Presiden Jokowi dengan narasi seolah dapat mempengaruhi pilihan rakyat melalui pejabat-pejabat Kepala Daerah adalah sebuah kejahatan. Sebagaimana diatur dalam KUHP (Kejahatan-Kejahatan Terhadap Martabat Presiden Dan Wakil Presiden)," bebernya.
Selain itu, Andir Asrun menganggap isi film dokumenter tersebut bisa menyudutkan pasangan Capres-Cawapres nomor urut dua, Prabowo-Gibran. Sebab, menurutnya, narasi keterpilihan Prabowo sebagai Presiden dan Gibran sebagai Wakil Presiden diasosiasikan sebagai cawe-cawe Presiden Jokowi dalam mempengaruhi para Pejabat Kepala Daerah.
Baca Juga: Dikuliti Lewat Film Dirty Vote Garapan Dandhy Laksono, Ketua Bawaslu RI Cemaskan Ini Jelang Nyoblos
"Ini adalah fitnah besar tanpa dasar terhadap Presiden Jokowi. Film ini sangat berbahaya dan tidak rasional ketika pemeran film bernama Zainal Arifin Mochtar (Dosen FH UGM) mengatakan, 'jadikan film ini sebagai landasan untuk Anda melakukan penghukuman'," jelasnya.
"Narasi ini menggambarkan betapa berkuasa dia memerintahkan rakyat tanpa menjelaskan menghukum pihak mana, apakah penyelenggara Pemilu yang telah bekerja ekstra keras untuk susksesnya Pemilu 2024," imbuhnya.
Prof Andir juga menyoroti ucapan Bivitri Susanti yang ikut terlibat dalam film dokumenter tersebut. Menurutnya, pernyataan Bivitri hanya berdasar asumsi belaka dan cenderung tendensius.
"Narasi ini disampaikan tanpa dukungan bukti dan hanya asumsi dengan narasi tendensius. Seharusnya jika menemukan kejanggalan dalam pelaksanaan pemilu, sebagai ahli hukum melapor ke Bawaslu," katanya.
Pemeran lain dalam ini bernama Feri Amsari juga menyampaikan narasi minor tentang pemilu. Lantaran tidak disertasi bukti-bukti pendukung sebagaimana sebuah perkara hukum, sehingga dapat dikualifikasi sebagai fitnah.
Ungkap Kecurangan Pemilu 2024, TKN Prabowo-Gibran soal Dirty Vote: Film Bernada Fitnah!
Film Dokumenter Dirty Vote: Tiga Pakar Hukum Bongkar Kecurangan Pemilu 2024
"Ferry mengatakan film ini dianggap akan mampu mendidik publik betapa curangnya pemilu kita, bagaimana politisi telah mempermainkan publik pemilih hanya untuk memenangkan kepentingan mereka, tanpa menunjuk politisi dari partai mana. Sehingga jelas narasi tersebut adalah pernyataan yang tidk bertanggung jawab," ucapnya.
Untuk diketahui, film dokumenter eksplanatori Dirty Vote yang digarap oleh sutradara Dandhy Dwi Laksono resmi dirilis Minggu (11/2/2024).
Dalam film tersebut, tiga pakar hukum tata negara Zainal Arifin, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari menguliti bagaimana berbagai instrumen kekuasaan digunakan untuk tujuan memenangkan Pemilu sekalipun prosesnya menabrak hingga merusak tatanan demokrasi.
Penggunaan kekuasaan yang kuat dengan infrastruktur yang mumpuni diterangkannya telah dilakukan penguasa demi mempertahankan status quo.
Dalam film dokumenter berdurasi 1 jam 57 menit itu, Feri Amsari salah satunya menyinggung soal kinerja Bawaslu RI yang dinilai kurang maksimal menindak pelanggaran pemilu.