Suara.com - Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu RI merespons peluncuran film dokumenter berjudul Dirty Vote yang mengungkap adanya dugaan serangkaian kecurangan Pemilu 2024. Dalam film garapan sutradara Dandhy Dwi Laksono tersebut tiga pakar hukum tata negara turut menyinggung kinerja hingga integritas Bawaslu RI di tengah banyaknya dugaan pelanggaran dan kecurangan yang terjadi.
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengaku terbuka atas segala kritikan terhadap kinerja lembaganya. Namun dia mengklaim Bawaslu RI telah menjalankan tugas dan fungsi dengan baik.
"Pada titik ini Bawaslu telah melaksanakan tugas fungsinya dengan baik. Tapi tergantung masyarakat juga, perspektif masyarakat silakan, kami tidak bisa kemudian men-drive perspektif masyarakat. Teman-teman jika mengkritisi Bawaslu ya silakan saja, tidak ada masalah bagi Bawaslu sepanjang kami melakukan tugas fungsi sesuai peraturan perundang-undangan," kata Bagja di Kantor Bawaslu RI, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Minggu (10/2/2024).
Bagja juga mengimbau kepada semua pihak untuk tidak bertindak sesuatu yang dapat menimbulkan konflik atau keributan. Sebab masa pemungutan suara 14 Februari 2024 menurutnya tinggal beberapa hari lagi.
Baca Juga: Soal Film Dirty Vote, Kubu Ganjar-Mahfud: Banyak Orang Baperan Kalau Dikritik, Ini Berbahaya!
"Hal-hal yang kemudian bisa kemudian menimbulkan, apa konflik dan lain-lain lebih baik dihindarkan karena sekarang menjelang masa pemungutan suara. Jangan sampai masa pemungutan suara ini terganggu gara-gara hal tersebut," katanya.
"Hak kebebasan berekspresi, berpendapat apa yang diungkapkan teman-teman merupakan hak yang dijamin oleh konstitusional. Demikian juga hak dan juga tugas wewenang Bawaslu dijamin undang-undang juga, diatur oleh undang-undang," imbuhnya.
Bongkar Kecurangan Pemilu
Film dokumenter eksplanatori Dirty Vote yang digarap sutradara Dandhy Dwi Laksono tersebut resmi dirilis Minggu (11/2/2024) hari ini.
Dalam film tersebut, tiga pakar hukum tata negara Zainal Arifin, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari menguliti bagaimana berbagai instrumen kekuasaan digunakan untuk tujuan memenangkan Pemilu sekalipun prosesnya menabrak hingga merusak tatanan demokrasi. Penggunaan kekuasaan yang kuat dengan infrastruktur yang mumpuni diterangkannya telah dilakukan penguasa demi mempertahankan status quo.
Baca Juga: Masuk Masa Tenang Pilpres 2024: Ganjar Banyak Merenung, Mahfud MD Pilih Umrah
Dalam film dokumenter berdurasi 1 jam 57 menit itu, Feri Amsari salah satunya menyinggung soal kinerja Bawaslu RI yang dinilai kurang maksimal menindak pelanggaran pemilu. Mulai dari menteri-menteri Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang terlibat mengkampanyekan pasangan capres-cawapres nomor urut 2 Prabowo-Gibran, kegiatan Gibran bagi-bagi susu di area car free day atau CFD Bundaran HI, hingga pertemuan Gibran dengan sejumlah kepala desa di Istora Senayan.
Feri juga turut menyinggung integritas para ketua dan anggota Bawaslu RI. Di mana mereka diseleksi oleh panitia seleksi yang diketuai Juri Ardiantoro yang kekinian menjabat sebagai Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran.
Dirty Vote sendiri merupakan film keempat yang disutradarai Dandhy yang mengambil momentum Pemilu. Pada 2014 Dandhy lewat rumah produksi WatchDoc meluncurkan film “Ketujuh”, masa itu dimana kehadiran Jokowi dielu-elukan sebagai sosok pembawa harapan baru.
Selanjutnya 2017, Dandhy menyutradarai “Jakarta Unfair” tak berapa lama menjelang Pilkada DKI Jakarta. Dua tahun kemudian, Film Sexy Killers tembus 20 juta penonton di masa tenang pemilu 2019. Sexy killers membongkar jaringan oligarki bercokol pada kedua pasangan calon yang berlaga saat itu, Jokowi – Maruf Amin versus Prabowo-Hatta.
Berbeda dengan film-film dokumenter sebelumnya di bawah bendera WatchDoc dan Ekspedisi Indonesia Baru, Dirty Vote lahir dari kolaborasi lintas CSO. Biaya produksinya dihimpun melalui crowd funding, sumbangan individu dan lembaga.
Adapun 20 lembaga lain yang terlibat kolaborasi dalam film ini ialah: Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch, Jatam, Jeda Untuk Iklim, KBR, LBH Pers, Lokataru, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, Walhi, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.