Suara.com - Banjir kritik dari kalangan sivitas akademika terhadap Presiden Joko Widodo masif jelang Pemilu 2024. Hal itu menuai pro dan kotra dari berbagai elemen masyarakat.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah mengatakan gerakan kritik dari sivitas akademika sudah tak murni aspirasi.
Sebab gerakan tersebut datang silih berganti di satu momen yang berdekatan. terlebih, gelombang itu muncul sesaat sebelum Pemilu.
"Kalau saya sih masih melihatnya sudah gak murni lagi. Ada pihak-pihak yang bermain, karena gerakannya kelihatannya seperti masif, tapi hanya perguruan tertentu saja," kata Trubus dalam diskusi yang digelar Komando Masyarakat Arus Depan Pancasila di Jakarta, Kamis (8/2/2024).
Baca Juga: Fadli Zon: Demokrasi Kita Perlu Diperbaiki
Trubus menilai, para guru besar seharusnya tak perlu mengambil alih peran mahasiswa untuk menyuarakan kritiknya terhadap pemerintah secara terbuka.
Selayaknya, sebagai guru besar, lanjut Trubus, kritik terhadap Jokowi bisa melalui pertemuan resmi sehingga tak menimbulkan kegaduhan.
"Kalau seperti ini kan kesannya mahasiswa ini enggak dianggap. Dan mungkin kalau para akademisi ini kalau memang ada bukti-bukti yang konkret tentang pelanggarannya ya disampaikan saja langsung ke presiden dalam sebuah forum resmi. Kalau begini kan hanya tuduhan saja," jelas Trubus.
Senada dengan Trubus, Akademisi dari Universitas Mpu Tantular, Rony Hutahaean menyayangkan cara kritikan para sivitas akademika yang dilakukan secara terbuka.
Ia menilai banjir kritikan dari pihak akademisi disaat yang hampir bersamaan dinilai sudah tidak murni asprirasi.
Baca Juga: Ganjar Ibaratkan Presiden Jokowi Seperti Ini; Besok Dhele, Sore Tempe
"Sekarang terkesan ini adalah mensomasi atau menegur pemerintah secara terbuka dan tontonkan kepada semua masyarakat. Padahal ada cara lain yang bisa dilakukan oleh para guru besar untuk mengkritik pemerintah," tuturnya.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara, Rahmatullah Rorano menjelaskan dampak yang terjadi jika memang gerakan kritik akademisi bukan lagi murni aspirasi tapi sudah orkestrasi.
"Kalau ini diorkestrasi, dia semacam bagian dari penggiringan politik untuk pemilu nanti, maka ini mencederai integritas perguruan tinggi," katanya.
Menurutnya, para civitas akademika kampus harus tetap bisa menjaga posisinya agar tidak disusupi gerakan politisasi.
"Oleh sebab itu, dia tidak boleh menjadi orkestrasi, jadi dia harus menjadi aspirasi sebagai bagian dari keresahan para akademisi, para guru besar yang melihat situasi demokrasi hari ini. Tidak boleh dibawa dalam orkestrasi," katanya.
Belakangan, Presiden Joko Widodo dibanjiri kritik dari sejumlah sivitas akademika kampus mengenai kondisi demokrasi saat ini menjelang Pemilu 2024.
Terbaru, sejumlah kampus bahkan melakukan aksi unjuk rasa menyuarakan pemakzulan Jokowi di kawasan Istana Kepresidenan, Jakarta.