"Bagi saya pribadi ketika kita juga dari kalangan kampus melihat dosen-dosen, rektor mulai ditekan. Untung mahasiswa sedang libur. Kalau tidak sudah bergerak, melihat profesor diintervensi dengan cara-cara seperti itu. Ini bukan demokrasi."
Hasto mengemukakan, dalam berbagai bentuk demokrasi yang tumbuh di sejumlah negara, tidak ada intervensi yang merongrong kebebasan akademik.
"Dalam demokrasi apapun, mau demokrasi liberal, demokrasi sosialis tidak ada intervensi dengan cara seperti itu memaksakan perguruan tinggi yang punya kebebasan akademik," sebutnya.
Sementara distorsi yang terjadi pada masa Pemerintahan Jokowi selanjutnya, yakni terkait asas pemilu.
![Para civitas akademika UGM menyampaikan Petisi Bulaksumur di Balairung UGM, Rabu (31/01/2024). [Kontributor/Putu Ayu Palupi]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/01/31/83753-civitas-akademika-ugm-bacakan-petisi-bulaksumur.jpg)
"Distorsi kedua, asas pemilu dilanggar langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Jujur-adil itu maknanya dalam banget. Langsung nanti kita lihat tanggal 14 Februari, kemudian umum apakah setiap rakyat punya hak memilih, diizinkan."
"Kemudian apakah betul proses itu praktek di lapangan. Kita lihat rakyat yang punya hak pilih dilindungi hak konstitusionalnya," sebut Hasto.
Hasto mengurai tekanan ke sejumlah kalangan akademisi dan bahkan kepala desa dipanggil dengan membawa laporan penggunaan dana desa.
"Apakah ini bukan intervensi? Apakah bisa dibiarkan? Tekanan-tekanan kepada kepala desa yang berlangsung secara masif," kata Hasto.
"Kepala daerah kami di Jatim, di beberapa daerah basis PDIP kemudian ditekan dengan pengaduan masyarakat (dumas) yang diajukan. Padahal dumas ini skenario. Dari dumas ini dipakai untuk menekan, kalau tidak kita proses," lanjut Hasto.
Baca Juga: Marak Seruan Protes ke Jokowi, Kalangan Civitas Akademika Diminta Lebih Tempuh Jalur Ini
Itulah sebabnya beberapa kepala daerah harus mengubah dukungannya karena ada tekanan terhadap mereka. Hal ini sangat disayangkan terjadi.