Suara.com - Sekretaris Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud MD, Hasto Kristiyanto mengungkapkan ada sejumlah distorsi yang terjadi dalam beberapa waktu belakangan.
Pernyataan tersebut disampaikan saat berbicara dalam diskusi bertajuk 'Pilpres dan Memulihkan Distorsi Kompetisi Menjadi Kompromi' yang digelar Forum Dialog Nusantara (FDN) di Jakarta, Rabu (7/2/2024).
Hasto mengatakan, distorsi pertama terkait hukum sebagai rules of the game. Dalam teorinya seharus hukum menjadi panglima, tapi fakta yang terjadi dilanggar.
Ia kemudian mencontohkan manipulasi hukum di Mahkamah Konstitusi (MK) yang nyata. Hasilnya, Majelis Kehormatan MK (MKMK) memutuskan ada pelanggaran etis.
Baca Juga: Marak Seruan Protes ke Jokowi, Kalangan Civitas Akademika Diminta Lebih Tempuh Jalur Ini
Namun kenyataannya, pencalonan tetap diteruskan sehingga terjadi conflict of interest. Padahal, menurutnya sudah banyak pihak yang mengingatkan agar hal itu tidak diteruskan.
Namun, pencalonan Gibran Rakabuming Raka tetap berjalan. Hal tersebut kemudian dikuatkan keputusan DKPP, yakni Ketua KPU dinyatakan melakukan pelanggaran etik berat juga.
"Sehingga dua pelanggaran etik. Etik itu di atas hukum. Seluruh teori politik diatas hukum ada etika. Etika muncul dari nilai-nilai yang diyakini bersama tentang baik dan buruk dalam pengaturan hidup bersama itu menjadi society values. Apalagi kalau kita berakar dari agama. Ini yang dilanggar, dua keputusan etik," ujarnya.
"Apakah ini kita biarkan? Dan dua keputusan etik yang sangat berat ini kan akhirnya menyandera demokrasi kita. Terkait proses legitimasi, legalitas. Kenapa ada putusan etik? Karena ada conflict of interest tadi," sebut Hasto.
Intervensi Terhadap Kampus
Baca Juga: Bio Paulin 'Si Galau' Caleg Gerindra yang Bingung karena Cuitan Nyelenehnya Viral
Kemudian Hasto menyoroti intervensi oknum aparatur negara terhadap kampus-kampus. Hal tersebut berkaca pada tekanan yang dialami civitas akademika dalam menyuarakan keprihatinannya terhadap kondisi negara ini.
"Bagi saya pribadi ketika kita juga dari kalangan kampus melihat dosen-dosen, rektor mulai ditekan. Untung mahasiswa sedang libur. Kalau tidak sudah bergerak, melihat profesor diintervensi dengan cara-cara seperti itu. Ini bukan demokrasi."
Hasto mengemukakan, dalam berbagai bentuk demokrasi yang tumbuh di sejumlah negara, tidak ada intervensi yang merongrong kebebasan akademik.
"Dalam demokrasi apapun, mau demokrasi liberal, demokrasi sosialis tidak ada intervensi dengan cara seperti itu memaksakan perguruan tinggi yang punya kebebasan akademik," sebutnya.
Sementara distorsi yang terjadi pada masa Pemerintahan Jokowi selanjutnya, yakni terkait asas pemilu.
"Distorsi kedua, asas pemilu dilanggar langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Jujur-adil itu maknanya dalam banget. Langsung nanti kita lihat tanggal 14 Februari, kemudian umum apakah setiap rakyat punya hak memilih, diizinkan."
"Kemudian apakah betul proses itu praktek di lapangan. Kita lihat rakyat yang punya hak pilih dilindungi hak konstitusionalnya," sebut Hasto.
Hasto mengurai tekanan ke sejumlah kalangan akademisi dan bahkan kepala desa dipanggil dengan membawa laporan penggunaan dana desa.
"Apakah ini bukan intervensi? Apakah bisa dibiarkan? Tekanan-tekanan kepada kepala desa yang berlangsung secara masif," kata Hasto.
"Kepala daerah kami di Jatim, di beberapa daerah basis PDIP kemudian ditekan dengan pengaduan masyarakat (dumas) yang diajukan. Padahal dumas ini skenario. Dari dumas ini dipakai untuk menekan, kalau tidak kita proses," lanjut Hasto.
Itulah sebabnya beberapa kepala daerah harus mengubah dukungannya karena ada tekanan terhadap mereka. Hal ini sangat disayangkan terjadi.
"Mau menang satu putaran boleh tapi rakyat yang menentukan. Jangan satu putaran seperti kejar setoran sehingga segala sesuatu dilakukan. Atau kejar jabatan, kalau menang jabatan saya seperti ini," ucap Hasto.
Oleh sebab itu, kata Hasto, tak heran saat ini banyak tokoh termasuk kampus yang mencoba mengingatkan agar demokrasi di Indonesia dijaga.
"Jadi mari kita buka mata hati kita dengan jernih. Ini bukan persoalan siapa mau menjadi presiden. Ini persoalan Indonesia kita. Ini persoalan bahwa kultur demokrasi itu jangan sampai dirusak. Kultur demokrasi ini sangat mahal dibangun dengan susah payah," katanya.