Suara.com - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari disarankan untuk mundur dari jabatannya karena beberapa kali telah melakukan pelanggaran etik.
Imbasnya, Komisioner Komisi Pemilihan Umum juga dituntut agar lebih cermat dalam menyelenggarakan pemilu.
Pasalnya, pelanggaran etik yang terjadi secara berulang-ulang diyakini mampu menggerus kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu.
Bahkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga telah menyatakan Ketua KPU diberi sanksi peringatan keras terakhir dan enam orang anggota KPU diberi sanksi peringatan keras.
Baca Juga: Tegaskan Tak Akan Kampanye, Jokowi Jelaskan Ucapannya Soal Presiden Boleh Berkampanye
Adapun beberapa nama yang mendapat sanksi peringatan keras tersebut antara lain Parsadaan Harahap, M Afifuddin, Idham Holik, Betty Epsilon Idroos, Yulianto Sudrajat, dan August Mellaz.
Lantas, apa saja pelanggaran yang dilakukan oleh Ketua KPU Hasyim Asy’ari?
Pelanggaran Terkait Pencalonan Gibran
Hasyim Asy’ari terbukti melanggar kode etik dalam penerimaan calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka.
Akibatnya DKPP melayangkan peringatan keras kepada Hasyim Asy'ari selaku teradu sekaligus merangkap sebagai ketua Komisi Pemilihan Umum.
"Menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim Asy'ari selaku teradu satu, selaku ketua merangkap Anggota Komisi Pemilihan Umum berlaku sejak keputusan ini dibacakan," kata Ketua DKPP RI Heddy Lugito.
Kendati dalam prosesnya ditemukan adanya pelanggaran etik, tapi status cawapres Gibran Rakabuming Raka tidak terdampak.
Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Bawaslu yang menuturkan bahwa keputusan DKPP hanyalah berpengaruh untuk penyelenggara, bukan pihak yang dicalonkan.
Tidak Mengakomodir Keterwakilan Caleg Perempuan
Hasyim juga pernah melakukan pelanggaran etik terkait keterwakilan calon anggota legislatif perempuan.
Dengan demikian, ia juga abai dan tidak mematuhi putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah diajukan oleh masyarakat sipil.
Menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Hurriyah, hanya 1 partai saja yang memenuhi kuota caleg perempuan.
Dikatakan pula jika masalah tersebut menjadi persoalan penting yang sejak awal Ketua KPU tidak komitmen menjalankan amanat dari Undang-Undang Pemilu.
Padahal, menurutnya keterwakilan perempuan itu adalah tindakan untuk kesetaraan gender serta afirmasi keterwakilan perempuan.
Kontributor : Damayanti Kahyangan