Dia merujuk pada Pasal 7 a Undang-Undang Dasar, yang berbunyi, 'Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.'
"Karena paling tidak perbuatan tercelanya itu sekali lagi konteksnya jabatan presiden, dia sudah melanggar Undang-Undag Ini. Jadi jangan dikecohkan dengan pasal ini, tidak ada sanksi pidananya. Di UU Pemilu, tidak perlu, karena kita bicara perbuatan Presiden yang melanggar Undang-Undang," jelasnya.
Jokowi sebagai presiden yang sudah menjabat dua periode, juga tidak bisa melaksanakan kampanye untuk putranya, Gibran Rakabuming Raka yang maju sebagai cawapres nomor urut dua, mendampingi Prabowo Subianto.
"Untuk Pak Jokowi itu sebenarnya enggak bisa tuh. Karena Pasal 299 itu adalah kalau Jokowi-nya maju, atau dia jadi tim resmi. Bukan pendukung, asal pendukung ya. Misalnya nih, ada yg mendukung. Mendukung tapi bukan dalam tim resminya, itu enggak dihitung dalam pasal 299," kata Bivitri.
Pada ayat 1 Pasal 299, memang disebutkan presiden dan wakil presiden boleh melakukan kampanye. Namun pada ayat 2, disebutkan, 'Pejabat negara lainnya yang berstatus sebagai anggota Partai Politik mempunyai hak melaksanakan Kampanye.'
Kemudian pada ayat 3 disebutkan juga, 'Pejabat negara lainnya yang bukan berstatus sebagai anggota Partai Politik dapat melaksanakan Kampanye apabila yang bersangkutan sebagai: (a) calon Presiden atau calon Wakil Presiden, (b) anggota tim kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU, atua (c) pelaksana kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU.'
"Nah jokowi kan bukan semuanya. Jadi itu enggak applicable (berlaku)," tegasnya.