Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan penetapan Wakil Ketua DPW PKB Bali Reyna Usman sebagai tersangka tidak berkaitan politik. Reyna ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan sistem proteksi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Wakil Ketua KPK Alexander menyebut penyidikan KPK murni penegakan hukum dalam menangani kasus dugaan korupsi di Kemnaker tersebut.
"Terkait dengan pengembangan perkara ini, saya ingin menyampaikan bahwa perkara ini tidak ada hubungannya dengan kontestasi politik saat ini, ya. Karena saya khawatir ketika teman-teman menyangkut pautkan dengan Kementerian Ketenagakerjaan terus langsung menyinggung seolah-olah ini politis," kata Alex di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, dikutip Suara.com, Jumat (26/1/2024).
Dijelaskannya, penyelidikan perkaranya dimulai KPK sejak 2019, namun harus tertunda selama dua tahun karena pandemi covid-19.
Baca Juga: Lukman Edy Bikin Lembaga Pemantau Pemilu, Tapi Tidak Pilih AMIN di Pilpres 2024
"Ini juga tempus delicti-nya di berbagai daerah juga dan juga di ada di Malaysia, kalau enggak salah locus delicti-nya. Jadi LKTPK-nya itu terbit kalau enggak salah Maret 2023," kata Alex.
"Artinya apa? Dilakukan ekspose pada sekitar Maret 2023 setelah melakukan penyelidikan dua tahun lebih karena kendala covid. Dan kemudian sprindik ini terbit sekitar Juni atau Juli 2023. Atinya jauh sebelum kontestasi politik yang sekarang ini, dan saya pastikan tidak ada hubungannya sama sekali," terangnya.
Ditegaskannya juga, KPK sebagai lembaga penegak hukum, tidak akan terpengaruh dengan situasi politik jelang Pemilu 2024.
"Ini menyangkuit penanganan perkara, sebagaimana kami sampaikan sebelumnya, KPK akan melakukan penanganan perkara, tidak terpengaruh kontestasi Pemilu atau apapun di tahun politik," kata Alex.
Reyna Tersangka
Baca Juga: Geledah Kantor hingga Rumah Pribadi Bupati Labuanbatu, Ini Bukti Temuan KPK
Sebagaimana diketahui, Reyna dijadikan tersangka bersama pejabat pembuat komitmen (PPK), sekaligus ASN di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (sekarang Kementerian Ketenagakerjaan) I Nyoman Darmanta (ID), dan Direktur PT Adi Inti Mandiri (AIM), Karunia (KRN).
Kasus ini terkait dengan pengadaan sistem proteksi TKI pada 2012 dengan nilai anggaran Rp 20 miliar. Namun dalam pengadaannya mengakibatkan negara merugi Rp 17,6 miliar.